Friday, December 29, 2017

Apakah Hukum Mengucapkan Selamat Natal Kepada Non-Muslim dan Merayakan Tahun Baru Bersama Mereka?


Hukum Mengucapkan Selamat Natal dan Merayakan Tahun Baru
Setiap natal dan tahun baru, kaum muslimin selalu berdebat tentang hukum mengucapkan selamat natal kepada kaum Kristiani atau ikut merayakan tahun baru bersama mereka. Masalah ini selalu menjadi polemik. Ada yang mengatakan boleh, dan ada yang mengatakan haram. Sebagian mereka ada yang memiliki dasar, namun tidak jarang yang hanya mengira-ngira atau ikut-ikutan, tanpa tahu
hukum yang sebenarnya. Oleh karena itu, pada kesempatan kali ini Rumah Muslimah akan mengulas hukum mengucapkan selamat natal kepada orang Kristen atau ikut merayakan tahun baru bersama mereka. Dengan harapan, kaum muslimin tak lagi memperdebatkan masalah ini terlalu panjang. Apalagi, jika masalah ini malah menyebabkan perselisihan, perpecahan, dan keretakan diantara kaum muslimin.  Baiklah, langsung saja kita simak pendapat ulama tentang masalah ini.
Secara umum, ada dua pendapat utama tentang hukum mengucapkan selamat natal dan memperingati tahun baru bersama umat Kristen.
Pendapat Pertama: Boleh hukumnya mengucapkan selamat natal kepada umat Kristen dan merayakan tahun baru bersama mereka.
Pendapat ini berasal dari Lembaga Fatwa negara yang menjadi tempat salah satu Yayasan Islam ternama dan menjadi kiblat keilmuan Islam di dunia, yaitu  Al-Azhar, Mesir. Secara umum, para ulama Al-Azhar, Mesir, memang lebih moderat dibandingkan dengan ulama negara lain, terutama Arab Saudi. Oleh karena itu, wajar jika dalam masalah Natal dan tahun baru, pendapat mereka menunjukkan keterbukaan dan mengedepankan toleransi.
Melalui halaman Facebooknya, Lembaga Fatwa Mesir (دار الافتاء المصرية) menerbitkan sebuah fatwa untuk menjawab pertanyaan seorang penanya:
Pertanyaan:
"Apakah seorang muslim boleh ikut merayakan tahun baru bersama orang Kristen dan memberi selamat kepada mereka?"
Inilah jawaban Lembaga Fatwa Mesir:
Kaum muslimin percaya kepada Nabi-nabi Allah dan utusan-utusan-Nya. Kaum muslimin tidak membeda-bedakan mereka. Ketika kaum muslimin merayakan tahun baru, itu merupakan ungkapan rasa syukur kepada Allah yang telah mengirimkan mereka sebagai petunjuk, cahaya, dan rahmat bagi umat manusia. Sebab, ini merupakan karunia Allah yang paling besar bagi umat manusia. Dan, hari dimana para nabi dan rasul dilahirkan, adalah hari yang penuh keselamatan dan kesejahteraan di dunia.
Allah telah mengisyaratkan hal itu dalam firman-Nya tentang Nabi Yahya:
وَسَلَامٌ عَلَيْهِ يَوْمَ وُلِدَ وَيَوْمَ يَمُوتُ وَيَوْمَ يُبْعَثُ حَيًّا
Kesejahteraan atas dirinya pada hari ia dilahirkan dan pada hari ia meninggal dan pada hari ia dibangkitkan hidup kembali.”
Allah juga berfirman tentang Nabi Isa,
 وَالسَّلَامُ عَلَيَّ يَوْمَ وُلِدْتُ وَيَوْمَ أَمُوتُ وَيَوْمَ أُبْعَثُ حَيًّا
Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali.”
Allah juga berfirman,
سَلَامٌ عَلَى نُوحٍ فِي الْعَالَمِينَ
Kesejahteraan dilimpahkan atas Nuh di seluruh alam.”
Allah juga berfirman,
  سَلَامٌ عَلَى إِبْرَاهِيمَ
 Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim.”
Allah juga berfirman,
 سَلَامٌ عَلَى مُوسَى وَهَارُونَ
Kesejahteraan dilimpahkan atas Musa dan Harun.
Allah berfirman,
 وَسَلَامٌ عَلَى الْمُرْسَلِينَ
Dan kesejahteraan dilimpahkan atas para rasul.”
Jika demikian halnya, maka menunjukkan rasa sukacita bersama mereka, mengungkapkan rasa syukur kepada Allah atas anugerah-Nya, dan merayakan kelahiran nabi bersama mereka, adalah hal yang dibolehkan syariat. Bahkan, hal itu termasuk salah satu bentuk ibadah yaitu mengungkapkan kebahagiaan dan rasa syukur atas karunia Allah. Nabi Muhammad sendiri telah merayakan hari dimana Nabi Musa diselamatkan dari Fir’aun, dengan cara berpuasa. Imam Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas ra. Bahwa ketika Nabi datang ke Madinah dan mendapati kaum Yahudi mengerjakan puasa satu hari yaitu puasa Asyura, dan mereka berkata, "Ini adalah hari yang sangat agung, dimana Allah telah menyelamatkan Musa dari Firaun, dan menenggelamkan Fir’aun beserta keluarganya, sehingga dia berpuasa sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah.” Rasulullah kemudian bersabda, "Aku lebih berhak atas Musa daripada mereka.” Maka Rasulullah kemudian berpuasa dan memerintahkan kaum muslimin untuk berpuasa pada hari itu.
Berpartisipasi dalam perayaan keselamatan Nabi Musa semacam itu, bukan berarti  pengakuan terhadap kepercayaan orang-orang Yahudi yang bertentangan dengan akidah Islam. Oleh karena itu, perayaan umat Islam atas kelahiran Nabi Isa,  adalah hal yang dibolehkan, karena hal itu termasuk ungkapan kebahagiaan. Selain itu, merayakan kelahiran Nabi Isa, termasuk mengikuti petunjuk Rasulullah yang telah bersabda,
Aku lebih berhak atas Isa bin Maryam baik di dunia maupun di akhirat. Sebabm antara aku dan dia tidak ada nabi.”
Ini adalah masalah perayaan umat Islam atas hari lahir Nabi Isa As.
Adapun mengucapkan selamat kepada non-muslim sesama warga yang tinggal di suatu daerah, baik pada perayaan hari lahir Nabi Isa maupun perayaan yang lain; maka tidak dilarang syariat. Lebih-lebih mengucapkan selamat kepada mereka yang memiliki hubungan kekerabatan, hubungan keluarga, tetangga, persahabatan, atau hubungan kemanusiaan dengan umat Islam.Terlebih lagi kepada mereka yang mengucapakan selamat kepada kaum muslimin saat umat Islam merayakan hari-hari besar.  Bukankah Allah telah berfirman,
وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ حَسِيبًا
“Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungankan segala sesuatu”. (QS. An-Nisa: 86)
Mengucapkan selamat kepada mereka, bukan berarti mengakui akidah mereka yang bertentangan dengan akidah Islam. Sebaiknya, hal itu termasuk berbuat baik dan berlaku adil yang diperintahkan Allah. Allah Swt. berfirman,
لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.”
Ayat ini menegaskan prinsip kerukunan antar umat beragama. Ayat ini juga menjelaskan bahwa menjalin hubungan dengan non-muslim, berbuat baik kepada mereka, bertukar hadiah dengan mereka, adalah hal yang dianjurkan syariat. Imam Al-Qurthubi mengatakan dalam tafsirnya, Ahkamul Quran, “Allah tidak melarang berbuat baik kepada orang-orang yang tidak memerangi kalian,” artinya kalian boleh memberikan sebagian harta kalian kepada mereka untuk mempererat hubungan.  
Pendapat Kedua: Haram hukumnya mengucapkan selamat natal dan ikut merayakan tahun baru bersama orang-orang kafir.
Pendapat ini berasal dari para ulama Arab Saudi, negara yang juga menjadi asal agama Islam, dan juga menjadi kiblat ilmu-ilmu Islam di dunia.  
Alasan para ulama mengharamkan mengucapkan selamat natal dan tahun baru adalah sebagai berikut:
Pertama: Sudah tidak diragukan lagi bahwa Allah telah menyempurnakan agama Islam bagi kita semua. Allah Swt. berfirman,
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْأِسْلامَ دِيناً
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Aku sempurnakan atas kalian nikmatku, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama kalian.”
Juga tidak diperdebatkan lagi bahwa agama yang paling benar di sisi Allah adalah agama Islam yang diturunkan kepada Nabi Muhammad.
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْأِسْلامُ وَمَا اخْتَلَفَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ إِلَّا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْياً بَيْنَهُمْ وَمَنْ يَكْفُرْ بِآيَاتِ اللَّهِ فَإِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ
“Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.”
Oleh karena itu, barang siapa mencari agama lain selain Islam maka tidak akan diterima Allah Swt.
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْأِسْلامِ دِيناً فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Barangsiapa mencari agama selain agamaIslam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang yang rugi.”
Ibnu Katsir mengatakan: Firman Allah ini menunjukkan bahwa tidak ada agama yang diterima Allah di sisi-Nya selain agama Islam. Oleh karena itu, jika setelah diutusnya Nabi Muhammad ada orang meninggal dunia dan dia memeluk agama selain agama Islam, maka agamanya itu tidak akan diterima.
Kedua: Rasulullah Saw. telah menjelaskan bahwa beberapa kaum dari umat beliau, nanti akan meniru amal dan perbuatan Ahli kitab.
أنَّ النبي صلى الله عليه وسلّم قال لتتّبِعُن سَنَنَ من كان قبلَكم شِبراً بشِبرٍ وذِراعاً بذِراع، حتّى لو سَلَكوا جُحرَ ضَبٍّ لَسَلكتُموهُ. قلنا: يارسولَ الله، اليهودَ والنصارَى ؟ قال: فمَن ) رواه البخاري
“Kalian akan benar-benar mengikuti sunan (jalan) orang sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta. Sampai-sampai, walaupun mereka melewati lubang biawak, kalian akan menempuhnya juga.” Kami berkata: “Wahai Rasulullah, apakah mereka adalah Yahudi dan Nasrani?” Beliau bersabda: “Ya Siapa lagi?” (HR. Bukhari)
Ibnu Katsir menjelaskan, maksud dari hadis ini adalah bahwa Allah dan Rasul-Nya melarang kita meniru perkataan dan perbuatan mereka, meskipun tujuannya adalah baik.
Ketiga: Kita harus tahu bahwa ‘id (hari raya) dalam agama Islam, termasuk ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah. Dan, seperti yang kita tahu, hari raya (hari yang harus dirayakan) kaum muslimin hanya tiga, yaitu: hari Jumat, hari raya Idul Fitri, dan hari raya Idul Adha.
فعن أبي هريرة رضي الله عنه قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلّم يقول: ( إن يوم الجمعة يومُ عيد، فلا تجعلوا يومَ عيدكم يومَ صيامكم، إلاَّ أن تصوموا قبلَه أو بعدَه
Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra. bahwa dia berkata: Rasulullah Saw. bersabda, “Sesungguhnyahari Jumat adalah hari raya. Karena itu, janganlah kalian jadikan hari raya kalian ini sebagai hari untuk berpuasa, kecuali jika kalian berpuasa sebelum atau sesudah hari Jumat.”
Keempat: Kita harus tahu bahwa dalam syariat Islam, kita diperintahkan untuk berbeda dengan orang-orang musyrik dan Ahli kitab. Rasulullah Saw. bersabda,
غَيِّروا الشَّيْبَ، ولا تَشَبهوا باليَهُودِ والنصَارَى) رواه أحمد(
“Gantilah (warna) uban, dan janganlah kalian menyerupai Yahudi dan Nasrani.” [HR. Ahmad]
Rasulullah Saw. juga bersabda,
خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ. أَحْفُوا الشوَارِبَ وَأَوْفُوا اللِّحَى  )رواه مسلم(
“Berbedalah dengan orang-orang musyrik. Potong pendek kumis dan panjangkanlah jenggot.” (HR. Muslim)
Al-Hafidz Ibnu Hajar menjelaskan: Dulu Rasulullah suka menyepakati Ahli Kitab dalam hal-hal yang tidak ada perintah khusus dalam masalah itu, terutama jika hal itu berbeda dengan apa yang dilakukan para penyembah berhala. Namun, setelah Fathu Makkah, dan agama Islam telah berkembang, beliau juga suka menyelisihi Ahli Kitab (tidak melakukan hal-hal yang dilakukan Ahli Kitab atau sebaliknya), sebagaimana telah dijelaskan dalam hadis Nabi.
Ibnu Taimiyah berkata, “Berdasarkan Al-Quran, hadis, dan sunah Khulafaurrasyidin, para ulama sepakat bahwa berbeda dengan Ahli Kitab dan tidak menyerupai mereka hukumnya wajib.”
Menyerupai dan meniru mereka dalam merayakan hari raya mereka, juga termasuk hal yang sangat berbahaya. Rasulullah Saw. bersabda,
من تَشَبَّه بقومٍ فهو منهم  )رواه أحمد(
“Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” (HR. Ahmad)
قال ابن تيمية رحمه الله تعالى : أقلُّ أحوالِهِ أنْ يقتضي تحريمَ التشبه. وإنْ كانَ ظاهرُهُ يقتضي كفرَ المتشبِّهِ بهمْ
Ibnu Taimiyah berkata: Konsekuensi paling kecil bagi orang yang menyerupai orang Yahudi dan Nasrani adalah melakukan perbuatan haram, meski secara tekstual konsekuensinya adalah menjadi kafir.
Kesimpulan Penulis:
Itulah hukum mengucapkan selamat natal kepada non-muslim (orang Kristen) dan merayakan tahun baru bersama mereka. Dari dua pendapat yang berbeda di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa kedua kelompok di atas memiliki hujjah (alasan) tersendiri. Dan, hujjah (alasan) kedua kelompok di atas sama-sama kuat karena berdasarkan dalil dari Al-Quran dan hadis. Untuk itu, sebagai jalan tengah, penulis ingin menyampaikan pesan-pesan berikut:
Pertama: Perbedaan pendapat adalah hal yang biasa. Namun yang perlu dicatat, kalaupun kita harus berbeda pendapat, marilah kita mencontoh akhlak para ulama mazhab saat mereka berbeda pendapat. Marilah kita berguru bagaimana para ulama mazhab menyikapi perbedaan pendapat. Imam Syafi’i berkata,
رأيي صَوابٌ يَحتَمِلُ الخَطأ، ورأيُ غَيري خَطأ يَحتَمِلُ الصَّوابَ
“Pendapatku benar tetapi bisa jadi mengandung kesalahan, sedangkan pendapat selain aku salah tetapi bisa jadi mengandung kebenaran.”
Kita tahu, semua pasti merasa bahwa pendapatnyalah yang paling benar. Untuk itu, agar tidak terjadi gesekan antar sesama kaum muslimin, mari kita kedepankan tasamuh atau toleransi. Tasamuh bukan berarti mengaku salah atau kalah, tetapi mengedepankan persamaan dan menghindari perbedaan. Meskipun kita yakin pendapat orang lain salah, kita tidak pernah punya wewenang untuk memaksanya mengikuti pendapat kita. Ingat, tugas kita hanyalah menyampaikan kebenaran yang kita yakini, bukan memaksa orang lain untuk mengikuti pendapat kita.
Kedua: Kalau dalam masalah mengucapkan selamat natal kita mengikuti pendapat pertama, maka kita tak harus melakukan hal itu secara berlebihan. Misalnya dengan memasang simbol-simbol natal di media sosial, apalagi sampai ikut meramaikan acara-acara mereka. Kalau kita harus mengucapkan selamat natal, hendaknya kita mengucapkan selamat natal hanya kepada kerabat, tetangga, atau teman dekat, jika memang ada. Jangan lupa untuk menata niat, bahwa tujuan kita bukan mengakui kebenaran agama atau akidah mereka, tetapi untuk menghormati kerabat, tetangga, atau teman dekat, demi menjaga hubungan yang telah terjalin.
Ketiga: Dalam hal merayakan tahun baru, saya rasa kita tidak punya alasan untuk melakukan hal itu. Apalagi, merayakan tahun baru identik dengan pesta-pora, berhura-hura, dan menghambur-hamburkan harta. Kalau kita ingin menikmati liburan, boleh-boleh saja. Karena tahun baru biasanya memang hari libur. Tapi tidak harus dengan cara berhura-hura dan menghambur-hamburkan harta. Akan lebih bermanfaat jika liburan kita manfaatkan untuk berkumpul bersama keluarga atau silaturrahim ke tempat kerabat. Kalau kita ingin menunjukkan rasa syukur dan kebahagiaan atas lahirnya Nabi Isa, maka tidak ada cara yang lebih baik untuk melakukan hal itu dari apa yang telah dilakukan Nabi Muhammad, yaitu dengan berpuasa.
Terakhir, jangan lupa untuk mengajarkan hal ini kepada anak-anak kita, keluarga, kerabat, sahabat, serta orang-orang yang dekat dengan kita. Jika Anda merasa artikel ini bermanfaat dan penting untuk  diketahui orang banyak, maka jangan lupa juga untuk menyebarkan pengetahuan ini kepada orang lain dengan cara membagikan artikel ini ke teman-teman Anda di media sosial. Jika niat kita tulus, insya Allah pahala akan menanti kita. Karena sebagaimana sabda Rasulullah,
 إِنَّ الدَّالَّ عَلَى الخَيْرِ كَفَاعِلِهِ
“Sesungguhnya orang yang menunjukkan suatu kebaikan, seperti orang yang melakukan kebaikan itu.”
 Wallahu A’lam.

No comments:

Post a Comment