Sunday, April 29, 2012

Terima Kasih Allah.. Atas Cinta


Mesir membara. Matahari angkuh menyemburkan panas. Bagai mata iblis yang menyorot garang. Debu membumbung tinggi menghembus bau neraka. Membungkus hamparan bumi negeri seribu menara, mengubahnya menjadi pelantaraan bara yang menganga. Begitu juga dengan bangunan-bangunan yang menjulang di depanku, seperti terbungkus api. Fatamorgananya bagai lidah api yang menyanya-nyala, menjilati bangunan-bangunan yang menjulang tinggi. Suhu kali ini mencapai 40 derajat. Bukan main panasnya.
Aku kembali melirik q&q yang melingkari pergelangan tanganku. Jarum panjang menunjuk angka satu, jarum pendek menunjuk angka dua belas. Jam dua belas lebih lima menit. Pantas saja matahari serasa tepat di atas ubun-ubun. Entah apa jadinya seandainya Allah tak menghamparkan langit sebagai atap dunia. Membungkusnya dengan atmosfer yang sangat banyak manfaatnya. Seperti yang ku baca dalam buku karangan Harun Yahya.
Selain menahan gesekan benda-benda langit. Atmosfir juga menyaring sinar-sinar dari ruang angkasa yang membahayakan kehidupan. Menariknya, atmosfir hanya membiarkan agar ditembus oleh sinar-sinar tak berbahaya dan berguna, - seperti cahaya tampak, sinar ultraviolet tepi, dan gelombang radio. Semua radiasi ini sangat diperlukan bagi kehidupan. Sinar ultraviolet tepi, yang hanya sebagiannya menembus atmosfir, sangat penting bagi fotosintesis tanaman dan bagi kelangsungan seluruh makhluk hidup. Sebagian besar sinar ultraviolet kuat yang dipancarkan matahari ditahan oleh lapisan ozon atmosfir dan hanya sebagian kecil dan penting saja dari spektrum ultraviolet yang mencapai bumi. Atmosfir juga melindungi bumi dari suhu dingin membeku ruang angkasa, yang mencapai sekitar 270 derajat celcius di bawah nol.
Tidak hanya atmosfir yang melindungi bumi dari pengaruh berbahaya. Selain atmosfir, Sabuk Van Allen, suatu lapisan yang tercipta akibat keberadaan medan magnet bumi, juga berperan sebagai perisai melawan radiasi berbahaya yang mengancam planet kita. Radiasi ini, yang terus- menerus dipancarkan oleh matahari dan bintang-bintang lainnya, sangat mematikan bagi makhuk hidup. Jika saja sabuk Van Allen tidak ada, semburan energi raksasa yang disebut jilatan api matahari yang terjadi berkali-berkali pada matahari akan menghancurkan seluruh kehidupan di muka bumi.
Lapisan pelindung Van-Allen ini merupakan sebuah rancangan istimewa yang hanya ada pada Bumi. Dan Allahlah insiyur paling handal tak ada duanya dalam hal ini. Insiyur dunia wal akhirat.
Energi yang dipancarkan dalam satu jilatan api saja, sebagaimana tercatat baru-baru ini, terhitung setara dengan 100 milyar bom atom yang serupa dengan yang dijatuhkan di Hiroshima. Subhanallah….
Aku mengeluarkan sapu tangan yang baru kemarin diberikan suamiku tercinta. Berniat mengusap peluh yang membanjiri mukaku. "Untuk Ummi….", begitu ucapnya saat menyodorkan sapu tangan  berwarna merah jambu., bermotif hati. Aku menyerngitkan dahi tak mengerti saat menerimanya.
"Buat apa bi?" tanyaku.
"Buat nyeka peluh Ummi sama adek kalo panas."
"Kan ummi biasa pakai tisu….." aku memang tak pernah memakai sapu tangan. Aku lebih senang memakai tisu. Apalagi di Mesir banyak penjual tisu. Mereka para 'pengharap kasih' meminta belas kasihan lewat tisu-tisu yang mereka jajakan dengan sedikit menaikan harga dari harga semestinya. Lewat tisu itu aku sekalian bisa melobi Allah untuk mendapat tiket surga.
Dan saat suamiku  tercinta menyodorkan sapu tangan aku jadi merasa aneh. Tak biasanya. Apalagi sapu tangan warna merah jambu motif hati. Akukan bukan ABG lagi.
Sapu tangan ini mengingatkanku pada sesuatu. Kelihatannya aku mengenal sapu tangan ini. Ya, sama persis. Sapu tangan yang sama. Aku masih memandang sapu tangan di tanganku tak berkedip. Sambil merangkai ingatanku kembali.
"Ada yang salah ummi?"
"Eh…e…Tidak Abi…"ucapku sembari menggeleng. Sementara fokus mataku masih tertuju pada sapu tangan merah jambu.
"Itu tanda kasih sayang Abi sama Ummi. Abi akan selalu menyeka peluh Ummi dan Adek . seper….."
"Abi sok romantis…."potongku tersipu. Sambil menghadiahi suamiku senyuman termanis. Saat itu mawar-mawar berwarna sedana dengan sapu tangan di tanganku memenuhi hatiku. Kelopak-kelopaknya mekar penuh cinta. Berubah menjadi sayap-sayap yang menerbangkanku ke negeri awan. Sebuah kenyataan cinta yang selama ini kuimpikan.
"Ye…masak romantis sama istri sendiri tak boleh…"
Cup.
"Itu tanda kasih sayang Ummi buat Abi."
Aku melenggang meninggalkan suamiku yang masih tertegun. Kaku seperti patung. Tangan kanannya belum turun dari pipinya. Tempat dimana aku membubuhkan heroin cinta.  Mukanya keras. Matanya tak berkedip. Nafasnya terhenti. Mungkin ciuman yang tiba-tiba itu membuatnya kolaps.
Ah Abi… jadi kangen. Sedang apa ya Abi di rumah. Saat ini pasti sedang sibuk di depan komputer. Menerjemahkan deretan kata-kata untuk hidupku dan anakku.
"Assalamualaikkum…" suara lembut menarikku dari lamunan.
"Waalaikum salam…"jawabku sembari membalas jabatan tangannya. Dan membalas pelukannya yang erat.
Saat kedua hati ini menyatu dalam naungan detak Islam aku merasakan kesejukan yang sangat. Islam mengajarkan saling mengasihi kepada sesama, walaupun saat ini aku tak mengetahui siapa gadis dalam pelukan ini. Aku jadi teringat sebuah hadist Nabi SAW yang mengatakan bahwa jika dua orang mukmin bertemu dan bersalaman sambil bermusafahah, maka akan bergugurang getah dosa diantara keduanya. Sebuah pemandangan yang boleh dikatakan sangat asing di negaraku tercinta. Indonesia.
"Kak sudah lama?" tanyanya. Muka gadis di depanku terlihat begitu kekelahan. Keringat menyapu mukanya yang kuyu.
"Sejak jam 9 tadi."
"Trus Ablah bilang apa?"
"Intadzir suayya….", ucapku dengan senyum. Berharap ia tak putus asa mendengar jawabanku. Gadis itu menghela nafas kecewa. Matanya nanar, berkaca.
"Ana ngurus tasdiq sudah sebulan yang lalu kak, tapi belum dapet. Ablahnya  selalu bilang bukroh." Aku menghadiahkan senyuman di akhir kata-katanya yang lebih tepat seperti pengaduhan. Di Mesir masalah administrasi memang sedikit lebih ribet,  tapi ada pelajaran tak ternilai harganya di balik itu semua. Sebuah kesabaran dan keteguhan hati.
"Yang sabar…"balasku. Ia membalasnya dengan senyuman yang sedikit di paksa.  
"Ummi aus…" rengek anakku, berjalan gontai mendekatiku. Matanya terlihat begitu tersiksa karena panas. Mutiara-mutiara bening memahkotai keningnya. Beberapa mutiara itu bahkan telah meleleh luruh jatuh ke pipinya yang bulat bak pau.
"Adek main-mainnya udah. Panas. Ni ada ammah. Sack hand dulu sama ammah….", aku mengusap peluh yang membanjiri mukanya.
"Accalamualaikum ammah…ismi ataiya ilcat…di panggil Ia…"
"Attaqqia…"aku membenarkan ucapan anakku yang masih cedal. Gadis yang ku tahu bernama Nela itu mengangguk. "Namanya bagus…"komentarnya kemudian.
"Ummi manya minyumnya?" aku merogoh tas. Air mineral yang ku bawa dari rumah tadi ternyata habis ludes.
"Ni, kak ada." Nela menyodorkan botol mineral yang isinya tinggal separuh.
"A…sayang…"Nela menyuruh anakku membuka mulut. Air mineral itu sudah siap meluncur ke mulut imut anakku.
"Ammah kata Abi cama Ummi bismiyah duyu…"
Ups…aku dan Nela serempak senyum. Aku mengecup gemas pipi ranum anakku. Dialah mutiaraku, anugrah dari Allah. Hadiah dari suamiku, tanpa dia di sampingku mungkin aku tak akan mampu mendidik Attaqia menjadi baby bawel yang pinter.
"Ummi, Ia pengen pake kayak Ummi…" ucapnya suatu ketika.
"Di luar panas sayang…"
"Kata Abi pake kayak Ummi hayus, kalo nggak Allah mayah…", aku melirik suamikku yang sedang sibuk di depan komputer. Suamiku menoleh. Melempar senyumnya yang mengembang lebar. Yah, dengan terpaksa ku akui kekalahanku, aku kalah cepat dengan suamiku  menorehkan warna emas di lembaran putih Ia. Mendidik Attaqia.
"Tapi…"
"Pokoknya pake kayak Ummi…" rajuknya mulai merengek. Akhirnya akupun mengalah. Memakaikan jilbabku padanya. Kebesaran memang, tapi ada keteduhan yang membungkus mukanya. Ia berubah menjadi bidadari kecil. Sangat cantik .
"Anak ke berapa kak?"
"Pertama…"
"Beruntung sekali kakak dan suami kakak punya anak secerdas Ia. pasti suami kakak sangat menyayangi kakak dan Ia…dan tentunya kakak juga sangat mencintai suami kakak…"
"Adakalanya tanpa cinta kita bisa meraih cinta yang lebih. Asal kita mau…"

***

Hadiqoh azhar begitu indah.  Hijau menyelimuti hamparan luas di hadapanku. Bunga-bunga aneka warna bermekaran penuh pesona. Menyambut musim semi yang mulai merangkak dewasa. Meninggalkan  musim dingin, yang beku. Hadiqoh ini termasuk hadiqoh favorit di Mesir. Selain indahnya, karena aneka bunga tumbuh disana, hadiqoh ini juga luas dan bersih. Satu lagi, penataan taman yang bisa di bilang luar biasa mengagumkan.
"Kakak jadi pulang minggu depan?" tanyaku sendu pada laki-laki yang menjadi sandaran hatiku.
Kak fatih mengangguk. Ada kesedihan meremas hatiku. Aku menunduk dalam, menyembunyikan kesedihanku. Ku palingkan muka, menyembunyikan air mata yang luruh perlahan. Segera ku seka. Aku tak mau kak fatih mengetahuinya.
"Kakak akan langsung ke rumah Adek, untuk melamar Adek. Setahun lagi kita menikah. Kakak harap tahun ini Adek bisa menyelesaikan Lc. Adek mau berjanjikan untuk berusaha?"
Aku mengangguk masih menunduk. Kalo ada kehalalan untukku atasnya, pastilah sudah ku peluk erat kak fatih. Kan ku buncahkan tangis perpisahan ini. Aku takut berpisah dengannya. Ada cinta yang telah mencandu di hatiku.
Mathor jadid ini terasa bagai bui besi yang sebentar lagi akan memisahkanku dengan kak fatih.
"Jaga diri adek baik-baik, surga akan kita layari bersama setahun lagi, kakak sayang adek…" kak fatih melambaikan tangannya. Aku membalasnya dengan hampa. Sehampa hatiku. Kering. "Jaga diri adek…" lirih kak Fatih. Di matanya ada bingkai kaca yang dicoba ditahannya. Aku mengangguk.
 Entah kenapa ada rasa takut yang mencabik hatiku. Takut jika perpisahan ini tak berujung sebuah pertemuan. Takut kenyataan tak akan memberi jawaban seperti yang ku inginkan. Takut ini adalah benar-benar perpisahan.
Tetes demi tetes mengalir mengiringi langkah  kaki kak Fatih. Air mata ini belum juga berhenti padahal bayangan kak fatih sudah tak terlihat. Bawa cintaku sampai aku pulang kak… dan kita akan arungi surga bersama. Bisikku dengan air mata semakin deras. Aku sayang kakak…   
Setiap malam, sebelum tidur  aku selalu membuka hp. Berharap ada sms atau telephon dari Indonesia. Tapi nihil. Sudah tiga bulan kak Fatih meninggalkanku. Sampai sekarang belum ada kabar. Semoga kak Fatih masih mendekap cintaku.
Malam ini aku benar-benar tak bisa memejamkan mata. Di luar angin begitu ribut, memainkan keramaian sendiri di keheningan malam. Angin dingin mendesah resah. Berhembus gusar. Meliuk-liuk sekarat. Entah berapa derajat suhu dingin kali ini. Di hadapanku, kaca jendelaku menangis menahan dingin, berembun.
 Ku rapatkan selimut tebal memcari kehangatan. Lagu ruang rindu hpku berdering. Ku buka. Syela…dari sepupuku di Indonesia. Aku menyerngitkan dari. Tak biasanya anak ini sms. Gunamku.
Ass. K' nurul gmn kbrnya? K' knl kak Fatih g? kak fatih Lc dr bandung.kmrn ksn nglamar sela…k" knal ngg'? bls.
Deg….kak Fatih??? Tidak mungkin. Mungkin orang lain. Nama fatihkan banyak. Batinku membesarkan hati yang setengah kacau.
Ternyata perkiraanku salah, sebulan setelah sms itu keluarga indonesia mengabarkan syela telah sah menjadi istri Kak Fatih. Ya, kak fatihku. Muhammad Abdul Fatih. Hatiku hancur. Ada luka yang menganga lebar . Tertanam dalam. Kenapa kak Fatih tega…setelah cinta yang setulus-tulusnya ku sandarkan padanya, setelah impian-impian ku rajut indah bersama, setelah hati ini sepenuhnya ku sandarkan padanya, dengan begitu teganya ia menghancurkannya…kenapa kak Fatih tega…. Kenapa harus dengan Syela, saudaraku sendiri. Tak cukupkah ia  datang dan pergi begitu saja dari hatiku. Kenapa kak fatih tega, apa salahku…dan pertanyaan itu selalu membuat air mataku jatuh….
            Setelah peristiwa itu hari-hariku hanya berisi sebuah kutukan. Kutukan untuk seorang Fatih ….dan satu lagi, peristiwa itupun membuatku mengutuk semua kaum adam di dunia. Tak terkecuali, termasuk bapakku yang memadu ibu. Kaum Adam benar-benar tercipta untuk menyakiti sang Hawa.
            "Bu, Nurul belum siap…."ucapku membalas suara dari seberang.
            "Kurang siap apanya, umurmu sudah 23 kamu sudah pantes nikah. Dan ibu yakin pernikahan kamu itu tak akan menghambat kuliahmu….ibu yakin Irsyad mampu menjagamu dan mengarahkanmu. Dia orangnya baik, pinter, dan…."
            "Tapi bu…"potongku.
            "Apa kamu sudah punya nduk?" curiga ibu. Sontak aku menggeleng keras.
            "Iya nduk? Kamu sudah punya?" aku baru sadar kalo ibu tak melihatku menggelengkan kepala.
            "Belum buk.."
"Trus…? nduk, ibu sudah tua ibu pengen cepet nimang cucu. Lagian tentunya ibu akan tenang bila kau disana ada yang menjaga…kurang apanya Irsyad. Dia pinter, hafidz, sudah S2, rencananya dia ke Mesir mau nerusin progam doktornya. Dia anak temen bapakmu. Gimana nduk….? Ibu harap kamu memikirkannya…" temen bapak? Jangan-jangan ia juga ntar seperti bapak, memaduku. Rutukku dalam hati.
            Aku kembali diam. "Nduk…nduk…."ibu menyadarkanku dari seberang. "Bagaimana…kamu mau memikirkannya…"
            "Iya buk…."ucapku pasrah.
            Kali ini luka di hatiku belum sembuh dan aku harus menerima seorang laki-laki. Dan bagaimana seandainya laki-laki itu kembali menorehkan luka. Ada sesak yang menghimpit dadaku.
Aku hanya takut tersakiti untuk yang kedua kalinya. Dan aku takut rasa sakit yang masih kurasakan sampai saat ini membuatku tak bisa menjadi istri sholehah. Tak bisa membuatku mencintai suamiku sepenuhnya.  
            Celakanya, Ibu selalu mendesak. Menerorku untuk menerima Irsyad. Padahal rupa laki-laki itupun aku belum tahu. Entahlah, mengapa orang tua selalu berpikiran bahwa mereka telah melakukan yang terbaik untuk anaknya…entahlah…
            "Nduk, kalo kamu ingin ibu bahagia. Ibu Cuma minta agar kamu mau menerima Irsyad. Jangan kau tanya kenapa ibu mendesakmu untuk menerima Irsyad, ibu Cuma yakin dia anak baik-baik…."
            Kali ini adalah istikhorohku yang ketiga kalinya. Allah bantu aku….
Malam berkabut. Hamparan tanah di depanku seakan tak berujung. Aku berlari tanpa arah mencari seseorang yang berkenan untuk menemaniku. Nihil. Tak ada seseorangpun. Aku meraung-raung meminta pertolongan. Aku takut sendirian. Kabut semakin tebal. Malam bertambah pekat. Gelap. Mencekam. Tak ada bisik suara mendesis, barang seekor jangkrikpun. Bulan di atas tersapu gumpalan hitam. Aku menggigil ketakutan. Seseorang menepuk pundakku dari belakang. Seorang laki-laki. Aku beringsut kebelakang. Semakin ketakutan. Takut laki-laki itu berbuat sesuatu. Aku terdiam menghitung detik. Menghitung nafas yang terhembus, dan menekan dada yang naik turun. Aku menunggu sesuatu yang paling buruk yang akan menimpaku. Aku terus meramu doa keselamatan. Dadaku semakin berdetak kencang. Laki-laki di depanku belum melalukan serangan apa-apa. Aku ingin sekali lari. Tapi aku takut. Aku takut jika aku berlari laki-laki itu akan memangsa dengan ganas. Karena merasa di tantang dikhianati lawannya. Ternyata aku salah, Laki-laki itu tersenyum. Ia merogoh sakunya, mengeluarkan sapu tangan merah hati. Menyeka peluh dan air mataku.
Allah semoga itu adalah petunjukmu…gunamku di awal kesadaran.
 
            Pernikahan ini sangat sederhana. Dan masjid Assalam di Asyir menjadi saksi ikatan suci ini. Ada setitik kebahagian yang membuatku sejenak berhenti untuk mengutuk kaum Adam. Apalagi setelah ku dengar dengan fasihnya kak Irsyad mengucapkan ijab qobul, diteruskan dengan membaca surat Arrahman yang menjadi maharku. Suaranya indah, lembut. Setiap ayat yang di bacanya seakan memecahkan kepingan-kepingan kebencian di hatiku. Dan saat itu aku mampu menarasakan ribuan malaikat berkunjung, mengepakan sayap-sayap mereka menghujani kami dengan doa kesejahteraan dan keberkahan. Semoga kebahagian ini bukan hanya untuk sesaat Allah…
"Adek capek…istirahat dulu ya, maaf kakak baru bisa dapet rumah ini. Insyaallah kalo kakak ada rizki kita akan cari rumah yang lebih lebar…"aku memutar pandangan. Sebuah ruang tamu berukuran 2X2. Dua kamar kecil. Dapur dan kamar mandi yang terselip di sudut ruang belakang.
"Tak apa kak…"ucapku membesarkan hatinya. Aslinya pemandangan seperti ini tak begitu mengherankan buatku. Menikah dalam status mahasiswa sekaligus di negeri orang harus membuat kita menerima segala resiko keberkahan ini. Termasuk makan ala kadarnya.
"Kak, adek boleh istirahat dulu…"
Kak Irsyad mengangguk, mengantarkanku ke kamar tidur yang telah dihiasnya rapi. Warna yang didominasi warna putih dan biru laut. Indah. Warna kesukaanku.
"Ku harap engkau menyukainya…. istirahatlah…"
Kak fatih melenggang keluar, sebelumnya ia meninggalkan ciuman di keningku. Ada perih di hatiku saat kak Irsyad mendaratkan cintanya. Allah bantu dan tuntun aku merangkai cinta bersamanya Allah….
Malam ini tak ada malam zafaf sebagaimana mestinya. Kak Irsyad mendapat undangan untuk mengisi diskusi di Wisma Nusantara, bascame mahasiswa Indonesia di Mesir.
"Adek tak apa-apakan? Maaf kakak belum bisa menghadiahkan cinta…Insyaallah ada saat yang lebih indah…" dan aku hanya tersenyum. Mungkin itu lebih baik…karena aku belum siap. Dosakah aku Allah. Allah bantu dan tuntun aku merangkai cinta bersamanya Allah…doa itu terus ku ulang. Berharap Allah menjatuhkan benih cinta di hatiku untuk seseorang yang telah halal atasku. Sampai sekarang secuil benih cintapun belum tumbuh di hatiku. Trauma itu benar-benar membekukan hatiku. Menanduskan cintaku.
"Kak, adek ingin menginap di rumah teman…." Ucapku hati-hati. alis kak fatih bertaut. Membentuk lipatan-lipatan garis di keningnya. Kaca mata yang di pakainya melorot beberapa mili kebawah.
"Temen adek ada yang nikah, adek ingin bantu-bantu…" lanjutku amsih ragu-ragu.
"Kakak ikut ya…kakak juga ingin bantu-bantu…" jawaban yang tak kuharapkan.
"Kakak ingin malam ini adek menemani kakak…"
Aku mengangguk. Walaupun belum ada cinta tapi aku tak ingin menjadi istri durhaka yang tak menuruti perintah suami.
"Gimana pengantin baru…"  ledek Imas.
"Belum ada cinta Im…." Nada sumbang berkolaborasi kesedihan meluncur begitu saja.
Imas memandangku lekat-lekat.
"Dan kau kesini untuk menghindarinya…? Kalian sudah…?" aku menggeleng.
"Nurul, sampai kapan kau akan seperti ini. Irsyad tak dosa apa-apa…dia tak tahu apa-apa…dan…"
"Aku sudah mencobanya Im…."
"Mencoba apa?" mata Imas menantangku geram.
"Mencoba mencintainya, menyukainya…",nada Imas mulai meninggi…,"sementara kau tak mau melupakan masa lalu…"lanjutnya.
"Aku tak mengerti dengan kau Rul, trus apa gunanya engkau menikah, hanya meninggalkan status sendirian, mencari pelarian…" tiba-tiba masa indah bersama kak fatih kembali terulang dan akhir yang menyedihkan itupun membuat air mataku kembali terjatuh.
"Kau tak akan pernah hidup bahagia jika masih menyimpan masa lalu…Rul, masa lalu bukan untuk di simpan tapi di ambil pelajaran dan di lupakan, apalagi masa lalu yang suram…" Imas meninggalkanku sendirian sesenggukan.
"Dek boleh kakak mengukir cinta malam ini…"
Tak tahu kenapa air mata ini jatuh begitu saja. Ku sandarkan kepala di pundak kak Irsyad. Di situ ku tumpahkan segalanya. Kak Irsyad berusaha menenangkanku. Beberapa kali ia mengelus kepalaku. Lama aku menangis di pelukannya.
Aku merenggang dari pelukan Kak Irsyad. Tatapan mata kak Irsyad menyimpan banyak pertanyaan. "Kakak melakukan kesalahan…?"tanyanya.
Aku menggeleng. "Kak mungkin belum saat ini…" sedikit lega, setidaknya aku tak membohongi cinta kak Irsyad.
Kak Irsyad menunduk dalam. Diam.
"Ada seseorang di hati adek?" kembali aku menggeleng.
"Alhamdulillah…"Lirih kak Irstad.
"Aku hanya tak ingin membohongi cinta kakak" ucapku kemudian.
Kak irsyad kembali terdiam. Lama. Hening. Ku kutuki diriku sendiri. Betapa jahatnya aku menyakiti hati seseorang yang telah tulus mencintaiku.
"Kakak mengerti…istirahatlah. Sudah malam. Kakak mau meneruskan terjemahan kakak." Kak Irsyad belum beranjak. Rahut mukanya menimbang-nimbang sesuatu, meminta izin. Aku mengagguk. Sebuah ciuman mendarat di keningku.
Sayup-sayup surat Arrahman membangunkanku. Aku beranjak mendekati asal suara itu. Fabiayyi ala irabbikuma tukadzdziban…tabarakasmu rabbika dzil jalali wal ikram..senyap. Aku mendekatkan pendengaran. Aku mendengar isakan tangis. Tangis? Rasa penasaran menuntunku mencari sumber suara.
"Allah setiap malam aku selalu berdoa padamu agar engkau memberikan aku bidadari yang kelak menjadi bidadariku di surga. Dan saat ini aku sangat bersyukur padaMu Engkau telah menghadiahi aku bidadari yang sangat cantik, rupa dan hatinya…. Isakan tangis kak irsyad semakin keras…. Allah Hadiahkan juga cinta di hatinya. Aku telah menjadikan dia cinta keduaku setelah cintaku padaMu Allah. Aku sangat mencintainya. Hilangkanlah kesedihan di hatinya, di matanya. Dan izinkan hamba yang mengobatinya dengan idzinMu Allah. Allah, dan apabila memang ada yang lebih dia cintai biarlah hamba tetap dengan cintaMu, bantu dia menemukan cintanya…kebahagiannya….jangan jadikan hamba, seorang yang tak bersyukur karena memasung cintanya…"
Deg. Ada cinta yang begitu tulusnya sedang aku menyia-nyiakannya. Apa yang pantas aku berikan untuk menebus semua kesalahnku. Allah maafkan aku.
Aku menghabur, memeluk punggung kak Irsyad, menghujaninya dengan air mataku.
"Maafkan Nurul, kak…izinkan aku tetap menjadi bidadari kakak…maafkan nurul. Maafkan Nurul kak…maafkan Nurul…." Kak Irsyad memelukku erat. Ada cinta yang tiba-tiba menyesakan hatiku.

Pagi yang indah. Dan aku merasa pagi ini adalah pagi terindah dalam hidupku. Aku meletakan kopi yang masih mengepul panas di samping komputer kak Irsyad. Raut muka kak irsyad terpahat serius di depan komputernya. Beberapa kali ia mengetuk-ngetukan jari di bibirnya. Sesekali menaikan kaca mata yang tak melorot.
"Ada yang bisa Nurul bantu kak?"
"Kakak kesusahan cari kata-kata untuk terjemahan kakak", kak Irsyad menyodorkan kitabnya. Tumben, tak biasanya. Kak Irsyad kan paling jago menerjemahakn kata-kata. Pikirku.
Aku mengeja kata-kata yang pas…dan cinta adalah perasaan. Cinta adalah hati. dan ketika cinta telah mengubahmu menjadi manusia yang paling bahagia, itulah duniamu….
Aku mengerling kearah kak Irsyad. Ia nyengir nakal.
"Dek, sarapan hari ini apa?"
Cup. Aku mencium pipi kak Irsyad.
Bahasa tubuhmu mengartikan rindu….
Gleg. Winamp komputer kak Irsyad menjadi sountreck paling indah di saat ku mengukir cinta….
Terima kasih Allah…Atas Cinta…

Cairo, 24 oktober; Setahun di Mesir

Cairo, Idul Fitri 08..
Untuk cinta.

No comments:

Post a Comment