Sunday, April 29, 2012

Lembayung Senja Yang Setia

Senja menggelantung sendu. Burung-burung beterbangan membentuk titik-titik lukisan hitam di langit jingga. Benar-benar Maha karya  terindah, tak seberapa dibanding goresan Leonardo Davinci.
Tampah emas kemerahan menggelinding perlahan. Menyusup kesunyian. Sedikit demi sedikit menghilang di kaki cakrawala.
"Bi, ini hari apa ?" tanya Laksmi pada pembantunya.
Sejenak pembantu berpikir, "Ahad, Bu…," balasnya sembari menaruh secangkir kopi yang masih mengepul panas.
"Bapak kok belum pulang-pulang ya, Bi ? Seharusnya kemarin kan sudah pulang…?"
Pembantu yang bernama Minten itu hanya diam. Matanya yang tua memandang nanar ke Sang Majikan. "Yang sabar ya, Bu…," batinnya.

Sayangnya kata-kata sugesti itu hanya tercekat di tenggorokan tak terlontarkan. Tak ada keberanian seorang pembantu untuk ikut campur dalam urusan majikan.
"Ya sudah Bi, kamu lanjutkan saja pekerjaan di dalam. Masak opor ayam sama dendeng kesukaan bapak ya, Bi… Siapa tahu malam ini bapak pulang. Porsi dobel Bi... Siapa tahu Neng Sari juga ikut kesini…"
" Nggih, Bu…"
Minten membungkukkan sedikit badannya, mengangguk sendiko dawuh, lalu berlalu.

###


"Bu, mau dihidangkan kapan ?" Laksmi melirik jam dinding persegi yang menggelantung di sudut ruang makan. Jarum panjang menunjuk angka sebelas sementara jarum pendek menunjuk angka tujuh.
Laksmi menarik nafas berat.
"Mungkin sekarang aja, Bi !"
Dengan gesit Minten menyiapkan hidangan makan malam. Menata piring, menata aneka hidangan dan yang terakhir menyalakan tiga lilin yang berdiri anggun di tengah meja.
"Bu, semuanya sudah siap…"
"Ya udah, Bi, Bibi boleh istirahat. Biar saya yang menunggu bapak," ucap Laksmi mengakhiri kata-katanya dengan senyuman. Bentuk apresiasinya pada sang pembantu yang sudah lima belas tahun setia menemaninya.
Minten tak langsung beranjak. Sebentar ia mematung, menimbang-nimbang hatinya. Tak tega rasanya meninggalkan majikannya sendiri. Menunggu sesuatu yang tak pasti. Mendekap kesepiannya seorang diri.
Menyadari pembantu setianya masih mematung, Laksmi mengangguk. Tatapan matanya berkata, "Tak apa aku sendiri."
Dengan berat hati akhirnya Minten beranjak meninggalkan majikannya sendiri.
Dalam langkahnya Minten mencuri pandang ke arah sang majikan.
Sungguh pemandangan yang menyesakan dada. Di depan aneka hidangan makanan lezat seorang putri duduk sendiri di salah satu kursi megah yang mengitari meja makan itu. Kedua tangannya menopang dagu. Tatapan matanya sendu. Tak ada gurat kebahagiaan sama sekali. Aneka makanan lezat itu tak mampu menarik senyumnya, barang secuilpun.
Sangat beda jauh dengan keadaan di rumah Minten. Setiap ada acara makan semua anaknya yang berjumlah sepuluh akan saling berebut makanan. Ada kebahagiaan, di depan nasi sebakul yang tak cukup membuat kenyang kesepuluh anaknya. Ada kebahagian di depan secuil tempe gembos yang hanya berteman secobek sambel  trasi.
Mungkin apabila semeja makanan lezat itu terbang ke bilik bambu Minten suasananya akan berbeda. Bilik bambu itu akan berubah seperti istana dengan gemuruh tawa kebahagiaan dan nyanyian-nyanyian surga.
Batang lilin telah meluber separuh lebih. Sementara asap-asap yang mengepul dari makanan yang terhidang panas telah lenyap. Tak berbekas. Semuanya membeku. Seperti kebekuan hati Laksmi.
Entah berapa kali Laksmi melirik gelisah ke arah jarum jam.
Jarum jam terus berputar. Mengantarkan malam semakin pekat. Alunan detak jarum jam semakin keras membelah kesunyian malam. Mendendangkan nada-nada yang semakin lekat menyayat.
Laksmi beranjak. Berjalan resah mengitari meja makan. Kali ini adalah thawaf-nya yang ketujuh kali atau bahkan mungkin lebih.
Lilin di meja kini telah meleleh habis, tak lagi seanggun empat jam yang lalu. Api kecil yang menyala dari sisa lelehan lilin itu terlihat hampir putus asa dalam menemani kesendirian Laksmi. Begitu juga dengan malam. Malampun terlihat lelah menemani. Dan Akhirnya secara perlahan-lahan ia terus beranjak menyongsong pagi. Meninggalkan Laksmi sendiri yang tetap setia menunggu malam, walaupun ia sendiri sadar bahwa malam telah meninggalkannya jauh. Itulah kesetiaan seorang wanita. Demi surga.

Jarum jam telah berputar penuh, melewati angka-angka yang berderet melingkar.  Berdentang dua belas kali. Tepat tengah malam.
Laksmi semakin gelisah. Ia mulai putus asa untuk menunggu suaminya yang tugas di luar kota empat hari yang lalu.
Dengan mata berat Laksmi kembali melirik ke arah jam. Pukul dua belas lebih seperempat. Di lihatnya pintu depan, pintu itu masih tertutup rapat. Tak terdengar bunyi ketukan yang menjadi pertanda datangnya tambatan hati yang dinantinya. Setahun yang lalu, malam-malam penantian seperti ini tak pernah terjadi. Bahkan setiap pulang sang suami akan membawakan oleh-oleh untuknya walaupun hanya secuil kue coklat atau setangkai mawar putih. Dan suaminya akan memberikannya seraya berbisik, "Maafkan Papa, meninggalkan Mama sendiri", disertai ciuman mesra di keningnya.
Saat ini Laksmi benar-benar merindukan saat-saat itu.
Setetes embun bening jatuh luruh, membelah pipi Laksmi. Laksmi segera menyeka air matanya, ia tak ingin malam menertawakannya.
Penat mulai menggelanyuti kepalanya. Laksmi menyandarkan tubuhnya. Matanya mulai terpejam, lelah.
"Bu,ibu..."
Laksmi membuka matanya dengan sedikit terguncang karena kaget. Minten menarik langkahnya, sedikit beringsut ke belakang. Ia merasa bersalah karena telah mengganggu tidur nyenyak majikannya.
"Sudah malam bu, ibu ketiduran...."
Laksmi mengucek-ucek matanya. Menggeleng-geleng kepalanya yang pening. Sejenak ia memejamkan mata, mencari kekuatan untuk mengembalikan kesadarannya penuh.
"Jam berapa bi...?"ucapannya kemudian.
"Jam satu bu...",jawab Minten. Pembantu setianya itu tak berani memandang Laksmi. Ia sungguh tak tega melihat raut muka majikannya yang begitu lelah.
"Makasih bi..." Minten beranjak dengan sedikit membungkukkan tubuhnya.
Laksmi menghirup nafas berat. Hembusan nafas panjangnya berakhir dengan padamnya nyala lilin di tengah meja makan. Bersama pula padamnya harapan besar di hatinya.
"Selamat malam, Pa…" bisiknya sendu pada sang angin. Mengabarkan rindunya.

Di kamar megah Laksmi belum juga terpejam padahal malam sudah sangat larut. Matanya yang menyirat sebuah kerinduan menyapu kamar tidur yang cukup luas itu. Semuanya lengkap dan semuanya megah, indah. Tak ada yang kurang sedikitpun. Ranjang megah dengan ukiran mewah, tirai kamar warna emas yang menjuntai seperti jubah permaisuri, meja rias yang juga tak kalah mewah.
Tapi hatinya hampa tak mampu merasakan semua keindahan dan kemegahan itu.
Laksmi mengelus bantal di sampingnya. Membayangkan seakan bantal itu menopang kepala penat sang suami. Lalu ia akan memijitnya. Dan ritual cinta akan dimulai dengan indahnya. Mengetuk pintu surga. Dan kesendiriannyapun bergumam,
Andai cinta kali ini bernyanyi
Menyusul malam yang indah
Sunyi malam akan menjelma,
Menjadi pesta terindah untuk para pecinta...

Malam adalah waktu yang paling tepat untuk mengumpulkan mozaik-mozaik masa lalu, setidaknya begitu untuk Laksmi. Kenangan-kenangan masa silam itu kembali berputar.
Lima belas tahun yang lalu adalah hari yang paling membahagiakan baginya.
Hari di mana ia dipinang oleh Drs. Mohammad Saiful, MA. Dosen salah satu universitas negeri di Jakarta. Bukan hanya itu Drs. Mohammad Saiful, MA juga terkenal kaya, pandai dan ulet. Semakin lengkap dengan ketampanan yang dikaruniakan Allah padanya.
Hingga saat pernikahan itu tiba Laksmi menjadi buah bibir di desanya. Semua orang mengirikan kebahagiaanya. Mengelu-ngelukan keberuntungannya.
Dimana Laksmi yang hanya seorang gadis desa yang hanya tamatan SMP di persunting oleh orang gedhe. Itulah keberuntungan, tak pernah memihak kepada siapapun.
Pernikahan yang tak se-kufu itu membuat banyak orang kagum. Sayangnya itu tak berjalan lama. Hingga puncaknya pada suatu ketika.
"Bu, long dres saya bagus nggak ?" tanya teman kantor suaminya. Pada acara seminar sang suami.
Laksmi berkerut tak paham. "Long dres?"
Sementara temen suaminya yang genit berputar sambil menaik turunkan baju bawahnya. Tersenyum sombong.
Melihat tingkah teman kantor suaminya Laksmi semakin tak faham. Kerutan di keningnya semakin bertambah.
Dengan lugu ia berkata "Long dres apa ya, Bu?" Serta merta gerombolan ibu-ibu cantik bermake up menor yang secara tak sengaja menyimak pembicaraan mereka berdua berbisik-bisik kasak-kusuk. Saat itu juga Pak Saiful mendekati istrinya.
"Pak Saiful, pinter jangan dipake sendiri. Istrinya diajarin…" Deg!!! Ada yang menyayat di hati Laksmi.
Dan kejadian sepele yang menyedihkan itu terus berlanjut. Hingga Laksmi memutuskan untuk tak pernah ikut dalam acara seminar-seminar suaminya.
"Ma, ayo ikut! Kali ini undangannya wajib berdua lho.. kalo temen-temen Papa nanya Mama gimana?" paksa suaminya suatu ketika.
"Pokoknya nggak mau, Pa! Dari pada ntar malu-maluin. Mama merasa  nggak pantas berada pada kelompok temen-temen Papa yang genit itu." Sang suami diam menerima alasan istrinya.
"Kali ini aja Ma...masak Mama tega Papa pergi sendiri. Inikan acara launching buku Papa, Papa janji akan nemenin Mama terus."
"Pa...."
Suaminya diam. Sekarang mata keduanya yang berbicara. Dengan penuh kasih dan cinta.
Sang suami tersenyum mengerti. Laksmi membalas senyuman itu mesra. Dan akhirnya Pak Saiful pergi sendirian dalam acara launching bukunya.

Suatu malam di bawah sinar rembulan.
Laksmi bersandar mesra pada pundak suaminya menikmati malam bulan purnama. Di atas purnama bersinar dengan indah. Sinarnya semakin benderang ditemani ribuan bintang.
 Lima belas tahun sudah pernikahan sepasang dara surga itu, tapi keduanya belum juga dikaruniai seorang anak.
"Pa, Papa boleh kok menikah lagi…" seketika raut muka suaminya berubah.
"Mama ngelindur…?" Laksmi menggeleng mantap.
"Mama tahu Papa butuh orang untuk menemani Papa …dan….Mama juga tahu Papa sudah capek memberi alasan pada temen-temen Papa tentang ketidakhadiran Mama pada acara-acara Papa…Mama nggak apa-apa, Mama ikhlas…dan Mama juga ingin kita punya pahlawan kecil untuk meneruskan perjuangan Papa. Walaupun tidak dari rahim Mama.." sang suami mengelus kepala Laksmi penuh kasih.
"Papa cukup bahagia dengan Mama."

Setelah dibujuk akhirnya pernikahan itu tiba. Pernikaan kedua bagi Drs. Muhammad Saiful, MA. Sekaligus bergantinya status sebagai istri tua bagi Laksmi.
Semenjak itu apabila ada acara-acara seminar atau lainnya, Sari istri muda, seorang dokter spesialis kandungan selalu menemani suaminya. Dan tentunya itu tak akan membuat malu suaminya. Pasangan yang sangat ideal.

Tak terasa air mata kembali mengalir membelah pipi Laksmi.
"Berikan keikhlasan padaku ya Allah…," desahnya. Disusul rapat kedua matanya yang berbalut ngantuk.

Laksmi dan suaminya berjalan bergandengan tangan mesra. Menembus cahaya yang bersinar terang benderang. Di depan mereka berdiri sebuah istana megah yang berkilauan cahaya indah.
"Siapa laki-laki ini ?" tanya penjaga istana itu.
"Dia suamiku…." jawab Laksmi.
"Kau ingin dia masuk…..?" tawar penjaga itu ragu.
"Tentu saja, dia suamiku dan aku ingin selalu bersamanya…." Penjaga istana itu memandang tajam laksmi, penuh selidik.
"Kau yakin kau mau masuk bersamanya?"
Laksmi mengangguk mantap.
"Masuklah kalian berdua…." ujar sang penjaga kemudian dengan ramah.
Gema adzan subuh menyeruak. Menarik Laksmi dari alam mimpinya.
"Bi, ntar masak opor ayam sama dendeng kesukaan bapak ya … porsi dobel. Siapa tahu bapak pagi ini pulang, dan Neng Sari juga ikut…" ujar Laksmi penuh semangat.
"Tapi bu, makanan tadi malam belum kemakan…"
"Iya, bibi masak yang baru. Makanan tadi malam bibi kasih ketetangga, masih enak kan, Bi ?"
Pembantunya mengangguk.
"Ya udah, bibi cepetan masak ! Saya yang beres-beres."
Sang pembantu semakin bingung dengan pikiran majikannya.
Jangan-jangan majikannya sudah gila, batinnya. Minten bergidik ngeri menepis pikirannya yang nggak-nggak.
"Karena aku melihat surga, Bi..," bisik Laksmi membalas kebingungan pembantunya.

Al-Azhar Park, 
Cairo, 27 Juli '08
DIِِ

No comments:

Post a Comment