Sebuah kesalahan
Ketika kubiarkan hatiku terbang
Hingga seorang penyamun menangkapnya
Bodohnya ku biarkan walau tanpa kerelaan
Kini aku dibuat gusar, segusar
liuk-liuk angin
Musim dingin menari-nari penuh syahwat,
bak malaikat sekarat
Kembalikan hatiku….
Kembalikan hatiku…
Kembalikan hatiku…
Celakanya, kini hatiku terlanjur jatuh
cinta
Pada sang penyamun yang menangkapnya
Hingga hati meninggalkan
Diriku sendiri, terkapar tanpa hati
Tanpa nadi, sekarat menunggu mati…
Adzim merebut
selembar kertas yang ku pegang erat.
"Adzim
kembalikan!"
Aku
berlari kecil mengejar adzim. Adzim terus berlari. Dan langkah kakiku yang tak
mampu mengejar langkahnya, tertinggal di belakang.
"Adzim
kembalikan!" jeritku berharap ia menghentikan langkahnya. Aku mulai putus
asa mengejarnya. Nafasku naik turun. Dadaku sesak. "Adzim…kembalikan!"
ku ulang lagi teriakanku. Ku buat suaraku sedikit memelas. Adzim kembalikan…harapku.
Langkah
Adzim terhenti. Nafasnya juga terengah-rengah. Sekarang ia berjalan menuju tempatku.
Di bukanya kertas yang direbut dari tanganku. Ia membacanya tanpa suara. Hatiku
menangis. Tersayat sakit.
"Buat
siapa puisi ini Ma?" tanyanya.
Aku
diam, membisu.
Adzim
menunggu suaraku.
Buat
orang yang merebut puisi itu dari hatiku. Batinku.
@@@@
"Irma
ni…" Adzim menyodorkan kertas berwarna merah jambu padaku. "Apa
ni?"
"Puisi
terbaruku, ku buat pada waktu pelajaran Fisika tadi."
Aku
membuka kertas itu.
Untuk cinta
Entah bagaimana kumaknai artinya
Hakikatnya
Kehadirannya
Kau telah mangambil separuh nyawaku
Lewat senyummu yang sayu
Kau telah mengambil separuh nyataku
Dalam diammu yang lebih bermakna surga
………………..
"Gimana?",
Adzim selalu menanyakan nilai puisinya padaku.
"Seperti
penilaian biasanya, dunia seisinya terangkai dalam kata-katamu. Seratus koma
seratus!"
"Kamu
bisa aja! Aku ke kantin dulu. Mau ikut?" tawarnya. Aku menggeleng sambil
mengacungkan buku di tanganku. Berkata lewat isyarat, "Aku ingin
menyelesaikan ini."
Adzim
melenggang meninggalkanku sendiri. Mataku belum juga mau lepas dari bayangannya.
Buku di tanganku terkalahkan oleh bayangannya. Entahlah, sejak aku menyukai
puisi-puisinya secara tak sadar hatikupun hilang bersama puisi-puisi yang
dituliskannya. Membawa jiwaku bernafas bersama tiap kata yang diurainya menjadi
nyanyian-nyanyian surga di detak jantungku.
@@@@
"Kak
Irma makan yuk!" ajak Irna. Adekku yang umurnya hanya bertaut setahun
denganku. Orang-orang banyak mengira kami kembaran.
"Kakak
masih kenyang, duluan."
"Yach,
kan nggak
seru makan sendirian." Rajuknya manja.
Itulah Irna
ia paling benci makan sendiri. Apalagi Ibu bapak saat ini belum pulang. Pernah ia nggak makan
seharian menunggu kami pulang. Waktu
kami menanyakan kenapa ia tak makan duluan, dengan santainya ia berujar,
"Kak, masalahnya, nafsu makan itu terletak di kebersamaan…" padahal
saat itu wajahnya telah pucat pasi menahan lapar. Irna memang sulit makan.
Waktu ia kecil ibu sering mencekokinya
obat nafsu makan yang katanya super pahit, terbuat dari daun pepaya yang
ditumbuk. Dan akibatnya saat ini Irna mempunyai maag yang lumayan akut.
"Kak…."desaknya
lagi.
Akupun
beranjak. "Iya….iya….."
"Kak
ke beranda yuk!" Selesai makan Irna mengajak ke beranda.
Akupun
mengiyakannya. Malam ini langit cerah. Kami berdua paling senang bertamasya ke langit.
Di luar
bulan purnama benderang. Bintang-bintang bertebaran luar biasa meriahnya.
Menghiasi malam.
"Kak, melamun mulu! Nglamunin siapa sih? Adzim?"
Aku
membelalakan mata. Bagaimana Irna tahu? Batinku.
"Apa
sih yang Irna nggak tahu dari seorang kakak tersayang." Irma menepuk
dadanya. Nafasnya mendengus sombong. Aku membalasnya dengan cibiran. Membentuk
segaris senyum yang tak simetris.
"Adzim...Adzim…"
Irna bergunam tipis dengan terus mengulang-ulang nama seseorang yang demi
mendengar namanya dadaku bergetar dahsyat. Mata Irna menerawang jauh ke langit.
Menyusul benderang bulan dan ribuan kerlip bintang. Seakan mencari ilham di
balik sebuah nama yang mengaduk-aduk hatiku.
"Adzim...Adzim..."Irna
mengulang nama itu lagi. Aku semakin penasaran atas tingkahnya.
"Apaan
sih…." Walaupun aku berusaha untuk tetap cuek terhadap sikapnya. Tapi
kata-kata penasaraan akhirnya terlontar juga.
Irna
meluruskan pandangannya menatapku. Seakan mencari sesuatu di mataku.
"Kak,
apa sih yang istimewa di Adzim. Dia tu nggak gitu tampan. Malah sikapnya super
dingin. Kalo jalan nggak suka lihat orang. Jarang senyum. Paling sama kakak aja
murah senyum. Karena kakak sering minjamin buku ke dia. Aku heran jika kakakku
yang nggak kenal cowok bisa bersimpati sama cowok dingin kayak dia….paling
kelebihannya….Irna memutar-mutar matanya yang bulat kelereng. Aku semakin tak
sabar menunggunya menyelesaikan ucapannya, "Pujangga….ya…itu aja",
lanjutnya sambil manggut-manggut.
Bagiku
dia lain dari yang lainnya. Dalam diamnya yang menyimpan kewibawaan. Dan yang
pasti cinta tak butuh alasan. Sanggah hatiku.
"Kak,
tahu nggak rahasia seorang pujangga?"
Aku
menyerngitkan dahi. Mulai serius menatap mata adekku yang juga terpancar
serius.
"Menurut
penelitianku…." Irna memulai kata-katanya seperti ucapan kaum genius yang mempresentasikan
hasil temuan terbarunya.
"Kaum
pujangga itu cuma bisa bicara lewat kata-kata yang ditulisnya. Mereka hanya
bisa romantis lewat kata-katanya itu. Mereka hanya mengenal cinta agung lewat
torehan syair-syairnya. Buktinya, Adzim. Ia tak pernah kongkrit dengan
puisi-puisinya. Untuk siapa puisi itu. Dikasih ke siapa puisi itu. Pujangga itu
hanya bercinta lewat maya…. Nggak ada kongkritnya….kayak cerpen-cerpennya,
ngayal…" Irna mengakhiri ucapannya dengan hambar. Sehambar hatiku saat
ini. Aku mulai terpengaruh ucapan Irna. Benarkah seperti itu?
"Karena
pujangga telah mengawini cinta lewat syair-syairnya…." Lanjutnya.
"Sok
tahu kamu!buktinya Rosul menyuruh kita belajar sastra. Sastra itu bukin hati
lembut dan pengasih. Hati-hati kalo ngomong, bisa didemo para pujangga tau rasa
kamu!"
"Buktinya
kakak percaya wek!" Irna menjulurkan lidahnya sambil mencubit pipiku. Ia
berlari kencang sebelum aku beranjak mengejarnya.
Di
langit bulan menertawaiku. Seakan sepakat dengan kata-kata Irna.
Uuhhhhh……
@@@@
"Aku
tunggu komentarmu. Aku ke perpus bentar!"
Sosok Adzim
tertelan di dalam puluhan siswa lainnya yang melangkah senada dengan arahnya.
Aku kelelahan mengikuti bayangnya.
Ku buka
selembar kertas yang barusan di sodorkannya padaku.
Belum
membacanya saja dadaku gemuruh. Entah kenapa.
Sedahsyat anggur
Kau tawan cintaku, yang telah mencandu
olehmu
Hingga malam yang gelap hanyalah berisi
dirimu
Dan pagi yang terang adalah harapan
nyatamu
Sungguh, cintamu
Mengubahku menjadi Qois kedua
Yang gila oleh Lailanya, dan Lailaku
adalah dirimu
Hingga setiap nafas yang terhembus
Adalah syair-syair cinta yang tiada
habisnya
Dan cintamu yang mendenyutkan
syair-syair itu
Dengan cintamu pula
Yang menyawakan,
Menghidupkan nyanyian asmara itu
…………
Tiba-tiba
ucapan Irna berhembus. Membisik telingaku. Selayak sepoi yang menyanyikan lagu pada dedahunan.
Aku mendesah pasrah.
"Aku
kembali…"
"Hellow…hellow…tuan
putri…" Entah dari arah mana, Adzim begitu saja muncul di depanku.
"Gimana?"
"Gimana
apanya." Tanyaku dengan nyawa yang separuhnya masih di alam lamunan.
"Puisiku…"
"Puisimu
mengambil hatiku", gunamku.
"Apa?"
tanya Adzim minta diperjelas.
"Eh,
tidak…tidak…bagus…emm…"aku menjentik-jentikan jariku ke bibir. Mencari
nilai yang pas buat puisi Adzim. Tepatnya mencari sesuatu yang aku sendiri tak
tahu kenapa aku harus diam seperti saat ini.
"Ma,
boleh aku ngomong…" Muka Adzim terpahat serius begitu juga sorot matanya.
Adzim
terlihat begitu kesusahan melanjutkan ucapannya. Matanya gusar. Sikapnya mulai
salah tingkah. Mulutnya menganga mengatup. Mau bicara tetapi tertelan kembali
ke alam pikirannya. Ia menarik nafas kuat. Mencari kekuatan.
"Aku
ingin minta tolong padamu…." Ucapan Adzim kembali terpotong. Ia kembali
menarik nafas.
"Aku ingin minta tolong padamu, untuk
ngasih puisi-puisiku pada Irna…"
Mulutku
terkatup erat. Dadaku berhenti berdetak. Kembalikan semuanya…. Bisik nyawaku
yang mulai merenggang dari ragaku.
Cairo 29Agusts
08
By:
DI
No comments:
Post a Comment