Monday, April 30, 2012

Panggilan Cinta Dari Surga

"You are crazy, Emely…tak akan ku izinkan kau pergi ke tempat laknat itu!"
"Tapi Dad, mereka membutuhkan Emely…”nada suaraku  mulai naik beberapa oktaf.
“Bukankah Dad yang menyuruh Emely untuk saling menolong, bahkan Dad menyuruh Emely untuk masuk kedokteran agar bisa menolong sesama."lanjutku tak peduli wajah Dad yang mulai memerah, marah.
"Bulsyit!" Dad menggeprak meja. Cangkir kopi yang masih penuh bergeser beberapa mili dari tempatnya. Isinya tumpah membasahi meja. Menyisakan warna hitam kental yang menodai alas meja berwarna putih. Aku melirik noda hitam itu. Bila Mom tahu ia pasti sangat marah. Taplak meja itu adalah taplak meja kesayangan Mom. Ia mendapatkannya dari Prancis.
"Emely, lihat, Dad!" sentakan Dad membuatku terperanjat. Ku angkat mataku lurus ke arah mata Dad. Sengaja ku tantang mata itu. Tiga kali sudah ku ajukan permintaanku ini pada Dad, dan Dad selalu menolaknya. Kali ini aku ingin benar-benar memperjuangkan keinginanku, setidaknya naluriku mengatakan seperti itu.

Dad terlihat benar-benar marah. Raut mukanya yang putih bijaksana berganti warna merah. Otot-otot lehernya tegang. Matanya menyala garang. Berapi. Aku tak pernah melihat Dad seperti itu. Dad kali ini bukan seperti Dad yang ku kenal, yang selalu memelukku dengan kasih sayang. Kali ini Dad lebih persis seperti orang kerasukan setan.
"Mereka musuh kita Emely, seharusnya kau ikut memerangi mereka, you know!" Dad mencondongkan tubuhnya, mendekatkan mukanya ke mukaku. "Mereka telah merebut tanah Tuhan dari kita…." Sambungnya. Suara Dad melemah penuh tekanan, seakan ingin mendiktekan kata-katanya ke otakku. Menjejalkannya dengan paksa. Aku melengos mengingkari ucapan Dad.
Praaak. Dad kembali menggeprak meja.
"Kau harus tahu itu, Emely!"Suara Dad kembali meninggi.
"Kita yang salah Dad, merebut hak mereka, melukai mereka…"
Prak. Aku merasakan perih di pipi kananku.
"Masuk kamarmu dan jangan keluar sampai kau menyadari kesalahanmu. Besok kita ke gereja membersihkan dosa-dosamu."
Mom menarikku dengan paksa.
“Dad kejam!” teriakku
"Masuk kamarmu Emely…sebelum Dad benar-benar marah", lirih Mom penuh tekanan. Matanya membulat tegang, membujuk.
"Dad, yang seharusnya membersihkan dosa!" lantangku tak menghiraukan bujukan Mom. Dad memburuku. Mengangkat tangannya, "Stop hunny…"sergah Mom.  Dad masih garang, nafasnya ikut memburuku namun sesaat kemudian Dad menurunkan tangannya. Menuruti perkataan Mom.
Mom kembali menarikku sambil menceramaiku panjang lebar.

***

Aku masih tertegun. Diam. Aku bingung harus mulai dari mana dan harus melakukan apa untuk bumi yang sudah terlanjur sangat porak poranda ini. Luluh lantah mengenaskan. Dan aku meramalkan bahwa tak ada harapan lagi bumi ini untuk bisa kembali seperti semula. Semuanya telah benar-benar rata dengan tanah, hampir semuanya tak ada yang tersisa. Dan aku yakin sebagian yang lainpun tinggal menunggu waktu. Ah, sebuah perjuangan. Mengapa mereka harus berjuang sebegitu besar. Mengalirkan darah, membuang nyawa dengan sia-sia. Meninggalkan berbagai kebahagian dunia dan lebih memilih berteman dengan desau bising granat yang menjanjikan kematian, berteman dengan penderitaan yang tak pernah ada yang tahu kapan semua ini akan berakhir.
"Mrs.Emely…." aku terperanjat. Panggilan yang tiba-tiba itu membuyarkan lamunanku.
"Ternyata kau di sini…"lanjut Neck dengan muka kelelahan. Nafasnya berhembus ramai di sertai dadanya yang naik turun. Sama sepertiku ia juga seorang suka relawan, dia dari Kanada. Bedanya dia telah beragama Islam. Dan Islamlah yang menjadikan dia berada di sini.
"Aku tak punya siapa-siapa di dunia ini. Keluargaku telah mengusirku karena pilihanku. Dan mulai saat itu aku benar-benar ingin menyerahkan segala yang ku miliki demi pilihanku, Islam." Ujarnya suatu ketika. Dan sejak itu akupun tau bahwa Neck rela melakukan apa saja untuk Islam. Termasuk memberikan nyawanya. Mengalirkan darahnya.
"Aku mencarimu sejak tadi. Seorang gadis kecil tertembak di kakinya. Pendarahannya luar biasa…."
Tanpa banyak bicara aku langsung beranjak sigap. Ku percepat langkah kakiku. Neck tak menuruskan perkataannya. Dia hanya mengekor di belakangku. Ku tambah kecepatan langkahku, memburu sebuah nyawa. Terlambat satu langkah saja, nyawa taruhannya. Dan aku tak mau malaikat pencabut nyawa terlebih dulu mendahuluiku tanpa aku dapat berbuat apapun, pikirku.
Dengan gesit ku bersihkan darah yang terus mengalir dari kaki kecil gadis berjilbab. Ia terlihat begitu kesakitan. Ia terus mengerang. Neck mengusap-usap kepalanya mencoba untuk menenangkan.
"Ambilkan suntik bius!"
Neck menyodorkan suntik bius.
Sebelum ku tusukan jarum suntik, gadis kecil itu menatapku tajam. Tatapan penuh kebencian dan dendam. Ku lemparkan senyum padanya. "I love Islam…"ujarku menyakinkan. Sesaat tatapannya ragu, kemudian ia tersenyum.
Saat jarum suntik menusuk kulitnya yang masih lembut, gadis kecil itu menggigit bibirnya menahan sakit. Ia terlihat begitu tegar. Beberapa detik kemudian ia telah terlelap.
"Bantu aku mengambil pelurunya!". Neck mengangguk.
Tak lebih dari empat puluh menit operasi telah selesai.
"Alhamdulillah",ujar Neck. Aku mengerutkan dahi, tak mengerti apa yang dia ucapkan. Neck hanya tersenyum menjawab kerutan dahiku.
"Terima kasih Mrs.Emely…" aku mengangguk membalasnya.
"Suara apa itu?", tanyaku. Neck terlihat menajamkan pendengarannya. Ia kembali tersenyum,"Itu adzan, panggilan sholat…"
Aku mencoba menyimak seruan itu. Ya, aku mengenalnya. Aku sering mendengar seruan itu di tempat orang-orang Islam beribadah.
"Masjid dekat sini telah rata dengan tanah, tak ada lagi pengeras suara…"aku mengangguk memahaminya.
"Aku sholat dulu…"aku mengangguk untuk yang kedua kalinya.
Ku amati gadis kecil yang tergolek tak berdaya di depanku. Kini pandanganku tertuju pada tangan mungil gadis kecil itu. Sebuah batu tergenggam di tangannya. Karena rasa penasaran, Aku mencoba untuk mengambil batu itu. Tapi cengkraman jari-jari kecilnya kuat mengunci batu itu. Ku renggangkan jemari-jemari mungil itu. Kini batu hitam itu  telah beralih ke tanganku. Tak ada yang istimewa di batu itu. Hanya tulisan arab yang di kerat dengan benda tajam. Neck pernah memberitahukanku, itu adalah lambang kekuatan pejuang-pejuang Palestin. Mereka menyebutnya Allah. "Kau tahu apa kekuatan orang Palestin?" Tanya Neck suatu ketika. Aku menggeleng menjawabnya. "Hanya dengan batu ini." Aku menganga tak percaya. "Kita akan terus berjuang, walau batu melawan peluru, walau syahadat melawan granat…."
Gila. Pikirku saat itu. Dan sekarangpun aku berpikir sama, ini benar-benar gila. Peluru melawan batu, ucapan yang mereka sebut syahadat melawan granat. Aku tak habis pikir mengapa Israel mampu melakukan itu semua. Mengibas nyawa dalam hitungan detik tanpa perikemanusiaan. Setiap aku memasuki ruang posko ini, melihat puluhan tubuh tergolek tak berdaya, entah mengapa nuraniku begitu mengutuk kebiadapan mereka. Ingin rasanya ku kumpulkan segala kekuatan yang ada di bumi ini untuk menghancurkan mereka. Membalas nyawa-nyawa yang telah mereka ambil dengan semaunya. Membalas darah yang mereka alirkan tanpa belas kasihan.
"Bulsyit…"
"Ada masalah Mrs."
"Oh… No…no…" hampir saja aku melemparkan batu yang ada di tanganku karena geram. Aku mencoba mengenali wajah di depanku. Tapi nihil aku tak pernah melihatnya.
"Emely Meksico…"ku sodorkan tanganku. Pria di depanku membalasnya dengan meletakan kedua tangannya di dada. Seperti apa yang di lakukan Neck dan pria muslim Palestin lainnya.
"Im Fatih, from Indonesia"
"You Moslem"tanyaku.
"Yes. Im Moslem"
"Kenapa kau buang nyawamu kesini?", berondongku tiba-tiba.
Fatih menyerngitkan dahinya. Sejenak ia diam. "Aku tak merasa membuang nyawa. Justru aku mencari keabadian."
Sekarang ganti aku yang menyerngitkan dahi.
"Islam adalah keabadian" tambahnya. Kerutan di dahiku semakin bertambah.
"Assalamualaikum…"
"Waalaikum salam…"jawab Farih
"Kau kembali Neck", balasku. "Kenalkan, dia Fatih, from Indonesia".
Neck dan Fatih saling berpelukan. Neck menepuk punggung Fatih berkali-kali, begitu juga dengan Fatih. Ku rasa mereka telah saling mengenal.
"Bagaimana keadaan di luar?" Tanya Neck.
"Musuh terpukul mundur, sekitar sepuluh tentara israel bersenjatakan lengkap. Tentara kecil yang melakukannya. Mereka menghujani musuh dengan batu, mereka terus melempar dan melempar  hingga musuh kewalahan. Dan memilih mundur…" fatih menjawab pertanyaan Neck dengan terpotong-potong. Bahasa inggris Fatih tak begitu bagus. Namun kami masih bisa memahaminya. Neck tersenyum penuh kemenangan. "Kita pasti menang." Sambungnya kemudian. Aku ikut senang mendengar kabar yang di bawa Fatih.
Bila satu jam yang lalu aku beranggapan bahwa tak ada harapan lagi bumi ini untuk hidup kembali, ternyata aku salah. Dan aku semakin yakin, selain semangat yang mereka miliki, ada kekuatan yang Maha besar di balik pejuang-pejuang Palestin. Namun aku tak pernah tau apa itu.
"Aku mengkhawatirkan kesehatanmu", muka Neck berubah sendu.
"Im fine. Insya Allah."
"He is sick?" tanyaku pada Neck.
Neck memandang Fatih. Sepertinya ada rahasia diantara mereka berdua. Fatih tersenyum. Seperti memberi isyarat pada Neck untuk memberi tahukannya padaku.
"AIDS."
Tenggorokanku tercekat, secara tak sadar mulutku menganga mengeluarkan bunyi huruf 0. Berakhir dengan desahan huruf H yang berat.
"Oh my god!"
Fatih mulai bercerita.
"Sunami Aceh membuatku kehilangan semuanya termasuk keluargaku, semuanya tak ada yang tersisa…” AFtih memandang langit-langit tenda. Matanya mencoba menyingkap masa lalu. “Seharusnya aku bersyukur karena Allah menyelamatkan nyawaku. Tapi tidak. Saat itu aku benar-benar marah kepadaNya.  Bahkan aku mengutukNya. Saat itu bagiku Dia terlalu kejam untuk dikatakan sebagai Penguasa….” Fatih menarik nafas dalam. Ada gurat penyesalan yang dalam di matanya. "Dan akupun benar-benar meninggalkanNya. Saat itu aku benar-benar liar. Clup, minuman, narkoba, wanita adalah pelarianku. Bentuk protesku akan kekejamanNya. Saat itu pula aku benar-benar muak dengan Tuhan. Apabila semua orang bersyukur karena masih diberi kehidupan, aku sebaliknya. Aku malah meminta kematian. Untuk apa aku hidup bila semua orang yang kusayangi, semua orang yang ku cintai pergi meninggalkanku. Dan Allah mengingatkanku dengan penyakit ini, Allah masih menyayangiku…."
"Kau menamainya sebuah kasih sayang, bukankah seharusnya kau lebih berhak untuk lebih membencinya…"
"Ya, mungkin jika Dia tak menyayangiku aku akan berpikiran seperti itu. Namun setelah aku positif dinyatakan mengidap AIDS, aku mulai mengenalNya. Bahwa Dia memang berhak melakukan apa-apa. Dia adalah Maha segalanya. Dan sejak aku kembali kepadaNya. Aku menemukan kedamaian  yang tak pernah ku rasakan…."*
"Dan kau membuang nyawamu di sini…?"
"Bukan membuang. Aku ingin menemukan keabadian….”
“Dengan kematian?” potongku. “Setidaknya aku tidak mati sia-sia."mantap Farih.
Aku menarik nafas dalam. Orang-orang koyol. Pikirku. Neck yang melarikan diri dari rumah demi Islam. Fatih yang menemukan ketenangan setelah benar-benar dinyatakan positif dengan AIDS. Aku jadi teringat teman-temanku. Blitzen, Raven, Kaitlin, Corleone, Carlo semuanya mengidap AIDS, tapi mereka tak seperti Fatih yang menyadari kesalahannya. Tingkah laku mereka semakin tak terkontrol setelah mereka tahu bahwa mereka mengidap AIDS. "Aku akan mati setelah merasakan semua kesenangan dunia ini." Ujar mereka suatu ketika. Dan lagi, gadis kecil berjilbab yang melawan granat dan peluru hanya dengan batu. Dan…..
Dan aku yang melarikan diri dari rumah untuk menolong orang-orang yang dianggap Dad sebagai musuh.
"Mereka datang…mereka datang….." laki-laki kecil menghampiri kami. Mukanya penuh darah. Nafasnya putus-putus. Matanya telah menyipit karena tertutup darah segar yang terus mengalir. Di tangannya menggenggam beberapa batu hitam. Bahkan di lehernya juga terkalung plastik hitam  penuh batu.
"Mereka datang…..mereka datang….."Neck dan Fatih beranjak dari tempat duduknya. Keduanya melangkah lebar-lebar seperti siap perang. Meninggalkanku sendiri. Aku begitu ketakutan seakan kematian begitu dekat denganku. Di luar begitu mencengkam. Bunyi granat berjatuhan. Suara pistol berentetan tak berjeda. Suasana tegang. Bau darah menyesaki udara.
"Baba…baba…., ayo kita bunuh mereka…"gadis berjilbab membuka matanya. Tanganya sibuk mencari sesuatu.
Aku mendekatinya dengan keringat bercucuran. Ketakutan.
"Ajarkan aku agamamu….ajarkan aku agamamu…."
Gadis kecil berjilbab memandangku tak mengerti.
"Ajarkan aku agamamu…, ajarkan aku…"lirihku mengiba. Gadis kecil itu masih kebingungan.
"Ajarkan aku agamamu."ulangku. Gadis kecil itu tersenyum padaku. Senyum damai yang tak pernah ku temui sebelumnya.
"Ajarkan aku agamamu" ulangku lagi dengan resah.
Gadis itu membuka mulutnya, aku siap-siap mengikutinya.
"Asyhaduallaaillahaillah…."
"Asy….ha…du al….laa illa…haillah…."
Gadis kecil membuka kembali mulutnya yang mungil.
"Waasy……"
Daaar.
Sebuah peluru memecah kepala gadis kecilku.
Aku menjerit histeris. Namun tak ada suara. Aku benar-benar ketakutan. Kucari benda apa saja untuk melawan tentara di depanku. Gagal, tak ada satupun benda yang dapat ku gunakan untuk melawan. Batu ini, pikirku. Ku ulang lagi apa yang diajarkan gadis kecil tadi.
"Asyhaduallaillahaillah…" ku lempar sekuat tenaga batu hitam yang ku ambil dari genggaman gadis kecil tadi.
Daaar…
Aku merasakan darah segar mengucur dari kepalaku. Di depanku tentara Israel rubuh oleh batu itu. Keningnya mengucur darah segar.
"Asyhaduallaaillahaillah……"
Gelap.


*Dengn itu banyak orang yang di biarkanNya tersesat, dan dengan itu (pula)  banyak orang yang diberinya petunjuk. (QS. Al Baqarah: 26)



Cairo,13 feb 09. 00.57 WK
By: DI

No comments:

Post a Comment