Wednesday, August 1, 2012

PPT: Mencari Tuhan Di Jalan Yang Sesat (?)


Harus diakui, selama lima tahun belakangan ini, sinetron Para Pencari Tuhan, atau yang sering kita sebut dengan PPT, telah menjadi salah satu sinetron yang paling populer dikalangan masyarakat. Anemo masyarakat terhadap sinetron yang satu ini sangat tinggi. Bahkan, bagi sebagian orang (mungkin juga kita sendiri), PPT yang hadir setiap bulan Ramadhan, lebih dinanti daripada kehadiran Ramadhan itu sendiri.
Selama 5 tahun berjalan, PPT telah menjadi tontonan yang tidak hanya menghibur, tapi juga juga menyuguhkan pelajaran-pelajaran yang menarik. Pesan-pesan moral dan etika selalu muncul dalam setiap dialog yang ada dalam sinetron ini. Jadi, entah disengaja atau tidak, PPT kini telah menjadi ladang dakwah yang subur bagi sang produser, Deddy Mizwar.  Di sisi lain, PPT juga telah menjadi guru yang mengasyikkan bagi para pemirsanya.
Sayang seribu sayang, diusianya yang sudah menginjak enam tahun ini, PPT yang seharusnya semakin dewasa dan semakin matang keilmuannya, justru tergelincir dalam kesalahan yang menyesatkan. Dalam episode ke 12, misalnya, penghulu dalam pernikahan Chelsea dan Barong, mengatakan bahwa maskawin atau mahar itu "harus berupa harta, kebendaan duniawi. Simbol nafkah yang menjadi kewajiban bagi seorang suami terhadap istrinya. Itulah maskawin, meski hanya berupa sepotong cincin besi. Sedangkan al-Qur`an dan seperangkat alat shalat itu bukan untuk mencari nafkah." Ketika Chelsea menyanggah dengan mengatakan: "Bukankah ilmu Al-Qur`an dan shalat lebih berharga dari emas berlian?", penghulu menegaskan bahwa: "Al-Qur`an dan shalat bukan alat bayar untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari".
Dari pesan-pesan 'pak penghulu' di atas, ada beberapa hal yang kiranya perlu diluruskan.
Pertama: Tentang pernyataan bahwa "maskawin itu harus berupa harta,  kebendaan duniawi".
Mungkin tim PPT lupa bahwa Al-Qur`an dan alat shalat juga termasuk harta. Jika Rasulullah membolehkan mahar yang hanya berupa cincin besi, tentunya Al-Qur`an dan alat shalat lebih boleh lagi. Karena nilai keduanya jauh lebih berharga dari sekadar cincin besi.   
Memang ada perbedaan pendapat dalam masalah ini. Namun perlu dicatat bahwa yang menjadi perdebatan para ulama sebenarnya bukan tentang membayar maskawin dengan Al-Qur`an, tapi membayar maskawin dengan bacaan Al-Qur`an, hafalan Al-Qur`an, atau mengajarkan Al-Qur`an.
Kalau yang dimaksud sang penulis naskah PPT adalah hukum membayar maskawin dengan bacaan Al-Qur`an atau hafalan Al-Qur`an, dia berarti telah mengingkari kenyataan bahwa yang tidak membolehkan membayar maskawin dengan bacaan Al-Qur`an atau hafalan Al-Qur`an adalah Mazhab Hanafi, mazhab Maliki, serta sebagian mazhab Hambali. Adapun mazhab Syafi'i, mazhab resmi mayoritas muslim di Indonesia, berpendapat bahwa membayar mahar dengan bacaan atau hafalan Al-Qur`an hukumnya adalah boleh atau sah.
Kedua: Tentang pernyataan pak penghulu bahwa maskawin atau mahar merupakan "simbol nafkah".
Entah dari mana sang penulis naskah mendapatkan informasi bahwa maskawin merupakan simbol nafkah. Karena jika menengok kitab-kitab fikih, tidak satupun ulama menyatakan bahwa mahar merupakan simbol nafkah. Selain itu, tidak ada hubungan langsung antara maskawin dengan nafkah. Artinya, maskawin adalah kewajiban dengan alasan dan syarat-syarat tertentu, sedangkan nafkah adalah kewajiban dengan alasan dan syarat-syarat tertentu pula. Maskawin diwajibkan sebagai hadiah atau pemberian dari mempelai laki-laki untuk calon istrinya, sementara nafkah merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan suami sebagai bentuk tanggung jawab karena telah "memenjarakan" istri di dalam rumah tangganya.
Ketiga: Tentang alasan pak penghulu bahwa Al-Qur`an dan alat shalat tidak boleh dijadikan sebagai maskawin karena "Al-Qur`an dan shalat bukan alat bayar untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari".
Dari kata-kata tersebut, ada kesan bahwa maskawin adalah nafkah itu sendiri. Padahal seperti saya sampaikan di atas, maskawin tidak sama dengan nafkah. Maskawin bukanlah harta yang dibayarkan suami untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari sang istri, tapi kewajiban yang harus dipenuhi sebagai syarat sahnya akad nikah.

***
Itulah sedikit catatan kecil tentang PPT jilid enam. Mungkin sebagian orang akan mengatakan bahwa PPT hanyalah sebuah sinetron, jadi tak perlu dikomentari. Itu benar. Namun, seperti saya sampaikan di atas, sekarang ini PPT sudah bukan sekadar hiburan lagi, tapi telah menjadi guru yang pesannya terlanjur dianggap sebagai tuntunan bagi sebagian besar (kalau tidak malah semua) pemirsanya.
Sebagai pesan terakhir, semoga tim PPT lebih hati-hati dalam memilih dialog. Karena jika tidak, PPT akan menjadi jalan yang sesat untuk mencari Tuhan. Di sisi lain, semoga para pemirsa juga harus selalu hati-hati saat menerima sebuah pesan. Apalagi jika pesan itu sumbernya hanya sebuah sinetron. Bagaimanapun juga, tanpa mengurangi rasa hormat terhadap Bung Deddy Mizwar, sinetron bukanlah tempat yang tepat untuk berguru dalam masalah agama. Karena tempat yang tepat untuk berguru dalam soal agama adalah para ustadz dan kyai. Wallahu A'lam.

2 comments:

  1. untuk yang tentang simbol nafkah.... sepertinya itu adat jawa. artinya kalo seumpama mas kawinnya uang 1.000.000 berarti si suami wajib kasih nafkah setiap bulannya minimal 1.000.000 untuk menafkahi keluarganya.

    entah ini asal muasalnya dari mana atas dasar ilmu apa, saya juga kurang paham.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Cak Jok: Saya juga orang jawa.. tapi di daerah saya adat seperti itu g ada. Mungkin saja dari daerah lain di jawa. Yang jelas, kalaupun ada adat seperti itu, salah satu pasangan akan jadi korban. Kl maharnya dikit, kasihan sang istri: udah dapat mahar dikit, nafkah bulanannya juga dikit. Kl maharnya banyak, yang kasihan ganti suami: udah bayar mahar banyak, setiap bulan harus bayar nafkah banyak pula. Padahal Islam sendiri mengajarkan agar jumlah nafkah itu hendaknya kondisional, sesuai kemampuan suami. Yg jelas, makasih dah kasih komentar... :)

      Delete