Harus diakui, selama lima tahun belakangan ini,
sinetron Para Pencari Tuhan, atau yang sering kita sebut dengan PPT, telah
menjadi salah satu sinetron yang paling populer dikalangan masyarakat. Anemo
masyarakat terhadap sinetron yang satu ini sangat tinggi. Bahkan, bagi sebagian
orang (mungkin juga kita sendiri), PPT yang hadir setiap bulan Ramadhan, lebih
dinanti daripada kehadiran Ramadhan itu sendiri.
Selama 5 tahun berjalan, PPT telah menjadi tontonan
yang tidak hanya menghibur, tapi juga juga menyuguhkan pelajaran-pelajaran yang
menarik. Pesan-pesan moral dan etika selalu muncul dalam setiap dialog yang ada
dalam sinetron ini. Jadi, entah disengaja atau tidak, PPT kini telah menjadi
ladang dakwah yang subur bagi sang produser, Deddy Mizwar. Di sisi lain, PPT juga telah menjadi guru
yang mengasyikkan bagi para pemirsanya.
Sayang seribu sayang, diusianya yang sudah menginjak
enam tahun ini, PPT yang seharusnya semakin dewasa dan semakin matang
keilmuannya, justru tergelincir dalam kesalahan yang menyesatkan. Dalam episode
ke 12, misalnya, penghulu dalam pernikahan Chelsea dan Barong, mengatakan bahwa maskawin
atau mahar itu "harus berupa harta, kebendaan duniawi. Simbol nafkah yang
menjadi kewajiban bagi seorang suami terhadap istrinya. Itulah maskawin, meski
hanya berupa sepotong cincin besi. Sedangkan al-Qur`an dan seperangkat alat
shalat itu bukan untuk mencari nafkah." Ketika Chelsea menyanggah dengan
mengatakan: "Bukankah ilmu Al-Qur`an dan shalat lebih berharga dari emas
berlian?", penghulu menegaskan bahwa: "Al-Qur`an dan shalat bukan
alat bayar untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari".
Dari pesan-pesan 'pak penghulu' di atas, ada beberapa
hal yang kiranya perlu diluruskan.
Pertama: Tentang
pernyataan bahwa "maskawin itu harus berupa harta, kebendaan duniawi".
Mungkin tim PPT lupa bahwa Al-Qur`an dan alat shalat
juga termasuk harta. Jika Rasulullah membolehkan mahar yang hanya berupa cincin
besi, tentunya Al-Qur`an dan alat shalat lebih boleh lagi. Karena nilai
keduanya jauh lebih berharga dari sekadar cincin besi.
Memang ada perbedaan pendapat dalam masalah ini. Namun
perlu dicatat bahwa yang menjadi perdebatan para ulama sebenarnya bukan tentang
membayar maskawin dengan Al-Qur`an, tapi membayar maskawin dengan bacaan
Al-Qur`an, hafalan Al-Qur`an, atau mengajarkan Al-Qur`an.
Kalau yang dimaksud sang penulis naskah PPT adalah
hukum membayar maskawin dengan bacaan Al-Qur`an atau hafalan Al-Qur`an, dia
berarti telah mengingkari kenyataan bahwa yang tidak membolehkan membayar
maskawin dengan bacaan Al-Qur`an atau hafalan Al-Qur`an adalah Mazhab Hanafi, mazhab
Maliki, serta sebagian mazhab Hambali. Adapun mazhab Syafi'i, mazhab resmi
mayoritas muslim di Indonesia, berpendapat bahwa membayar mahar dengan bacaan
atau hafalan Al-Qur`an hukumnya adalah boleh atau sah.
Kedua: Tentang
pernyataan pak penghulu bahwa maskawin atau mahar merupakan "simbol
nafkah".
Entah dari mana sang penulis naskah mendapatkan
informasi bahwa maskawin merupakan simbol nafkah. Karena jika menengok
kitab-kitab fikih, tidak satupun ulama menyatakan bahwa mahar merupakan simbol
nafkah. Selain itu, tidak ada hubungan langsung antara maskawin dengan nafkah. Artinya,
maskawin adalah kewajiban dengan alasan dan syarat-syarat tertentu, sedangkan
nafkah adalah kewajiban dengan alasan dan syarat-syarat tertentu pula. Maskawin
diwajibkan sebagai hadiah atau pemberian dari mempelai laki-laki untuk calon
istrinya, sementara nafkah merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan suami
sebagai bentuk tanggung jawab karena telah "memenjarakan" istri di
dalam rumah tangganya.
Ketiga: Tentang
alasan pak penghulu bahwa Al-Qur`an dan alat shalat tidak boleh dijadikan
sebagai maskawin karena "Al-Qur`an dan shalat bukan alat bayar untuk
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari".
Dari kata-kata tersebut, ada kesan bahwa maskawin
adalah nafkah itu sendiri. Padahal seperti saya sampaikan di atas, maskawin
tidak sama dengan nafkah. Maskawin bukanlah harta yang dibayarkan suami untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari sang istri, tapi kewajiban yang harus dipenuhi
sebagai syarat sahnya akad nikah.
***
Itulah sedikit catatan kecil tentang PPT jilid enam.
Mungkin sebagian orang akan mengatakan bahwa PPT hanyalah sebuah sinetron, jadi
tak perlu dikomentari. Itu benar. Namun, seperti saya sampaikan di atas,
sekarang ini PPT sudah bukan sekadar hiburan lagi, tapi telah menjadi guru yang
pesannya terlanjur dianggap sebagai tuntunan bagi sebagian besar (kalau tidak
malah semua) pemirsanya.
Sebagai pesan terakhir, semoga tim PPT lebih hati-hati
dalam memilih dialog. Karena jika tidak, PPT akan menjadi jalan yang sesat
untuk mencari Tuhan. Di sisi lain, semoga para pemirsa juga harus selalu
hati-hati saat menerima sebuah pesan. Apalagi jika pesan itu sumbernya hanya
sebuah sinetron. Bagaimanapun juga, tanpa mengurangi rasa hormat terhadap Bung
Deddy Mizwar, sinetron bukanlah tempat yang tepat untuk berguru dalam masalah
agama. Karena tempat yang tepat untuk berguru dalam soal agama adalah para
ustadz dan kyai. Wallahu A'lam.
untuk yang tentang simbol nafkah.... sepertinya itu adat jawa. artinya kalo seumpama mas kawinnya uang 1.000.000 berarti si suami wajib kasih nafkah setiap bulannya minimal 1.000.000 untuk menafkahi keluarganya.
ReplyDeleteentah ini asal muasalnya dari mana atas dasar ilmu apa, saya juga kurang paham.
Cak Jok: Saya juga orang jawa.. tapi di daerah saya adat seperti itu g ada. Mungkin saja dari daerah lain di jawa. Yang jelas, kalaupun ada adat seperti itu, salah satu pasangan akan jadi korban. Kl maharnya dikit, kasihan sang istri: udah dapat mahar dikit, nafkah bulanannya juga dikit. Kl maharnya banyak, yang kasihan ganti suami: udah bayar mahar banyak, setiap bulan harus bayar nafkah banyak pula. Padahal Islam sendiri mengajarkan agar jumlah nafkah itu hendaknya kondisional, sesuai kemampuan suami. Yg jelas, makasih dah kasih komentar... :)
Delete