Image Berbuka Puasa Sumber: flickr.com |
Puasa adalah menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa, dari waktu fajar hingga matahari tenggelam (waktu maghrib). Semua orang mungkin sudah tahu akan hal ini. Namun, banyak orang yang bertanya-tanya, kapan sebenarnya waktu ajar itu? Apakah adzan subuh, atau sebelumnya? Demikian juga dengan waktu berbuka puasa. Apakah orang yang berpuasa hanya boleh berbuka puasa jika dia telah mendengar adzan? Atau apa patokan yang sebenarnya? Fatwa berikut ini akan menjawab pertanyaan: kapan sebenarnya waktu berbuka puasa dan makan sahur itu?
Pertanyaan:
Kapan sebenarnya waktu berbuka puasa dan makan
sahur?
Waktu berbuka puasa dimulai sejak datangnya waktu
malam. Allah Swt. berfirman, “Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai
malam.” QS. Al-Baqarah: 187) Datangnya waktu malam ditandai dengan
terbenamnya matahari. Diriwayatkan dari Abdullah bin Abi Aufa bahwa Rasulullah
Saw. pernah bersabda,
“Jika kalian telah melihat malam datang dari
arah sana, maka orang yang berpuasa
boleh berbuka.” Beliau mengatakan hal itu sambil menunjuk ke arah timur.[1]
Diriwayatkan dari Umar bin Khatab bahwa dia pernah
bercerita: Rasulullah pernah bersabda,
“Jika malam telah datang dari arah sana, siang
telah berlalu dari arah sana, dan matahari benar-benar telah tenggelam maka
orang yang sedang berpuasa boleh berbuka.”[2]
Orang-orang biasanya menunggu sampai azan maghrib
karena mereka tidak mengetahui waktu. Oleh karena itu, orang yang mengetahui
waktu, jika dia yakin telah datang waktu malam, dia boleh berbuka puasa,
meskipun dia belum mendengar azan. Orang yang sedang berpuasa juga boleh
berbuka berdasarkan azan di radio, meskipun masjid di daerahnya belum
mengumandangkan azan. Sementara orang-orang yang berada di suatu masjid juga
boleh berbuka berdasarkan azan di radio atau azan di masjid lain.
Adapun waktu imsak, ia dimulai dari datangnya fajar
shadiq. Allah Swt. berfirman,
“Makan dan minumlah hingga terang bagimu benang
putih dari benang hitam, yaitu waktu fajar.” (QS. Al-Baqarah: 187)
Diriwayatkan bahwa Abdullah bin Umar pernah
bercerita: Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Bilal mengumandangkan azan di
waktu malam.[3]
Untuk itu, makan dan minumlah sampai waktu azan.” Atau beliau bersabda, “Sampai
kalian mendengar azan Ibnu Umu Maktum.”
Ibnu Umu Maktum adalah seorang lelaki yang matanya
buta. Dia tidak akan mengumandangkan azan sampai ada seseorang berkata
kepadanya: Telah datang waktu pagi.[4]
Diriwayatkan dari Samurah bin Jundub bahwa dia
pernah bercerita: Rasulullah Saw. pernah bersabda, “Kalian tak perlu
menghentikan sahur hanya karena azan Bilal atau fajar mustathil (fajar
kadzib). Akan tetapi, kalian harus menghentikan sahur jika telah datang fajar
mustadir (fajar shadiq) di langit.”[5]
Jadi, seorang mukalaf boleh makan dan minum sampa
azan shalat subuh. Akan tetapi dia disunahkan untuk menghentikan makan dan
minum sebelumnya untuk berjaga-jaga dan terbebas dari perbedaan pendapat. Juga,
karena hal itu lebih baik bagi puasa. Karena orang yang sedang sahur bisa makan
dengan santai dan tidak khawatir akan melewati waktu fajar.
Oleh karena itu, seorang muslim hendaknya memahami
kebiasaan temannya dan tidak mengundang fitnah bagi mereka. Dia hendaknya
menghindarkan dirinya dari tuduhan buruk, serta menggunakan kebijaksanaan dalam
mendidik orang lain.
[1] HR. al-Bukhari
(1838), Muslim (1101).
[2] HR. al-Bukhari dari
Umar bin Khatab, Kitab: ash-shaum, hadis no. (1818).
[3] Maksudnya, Bilal
waktu itu selalu mengumandangkan azan sebelum datang waktu fajar shadiq.
[4] HR. al-Bukhari dari
hadis Ibnu Umar, Kitab: al-Âzan, hadis no. (587).
[5] HR. Tirmidzi (706). Dia mengatakan: Hadis ini adalah hadis
hasan. Imam Bahuti berkata: Disunahkan mengakhirkan sahur jika seseorang tidak
khawatir akan segera datang fajar shadiq. Hal itu sesuai dengan hadis-hadis nabi,
diantaranya adalah: Hadis yang diriwayatkan oleh Zaid bin Tsabit bahwa dia
pernah bercerita: Kami pernah makan sahur bersama Rasulullah, kemudian kami
mengerjakan shalat. Aku kemudian bertanya, "Berapa lama selang waktu
antara sahur dengan shalat?" Dia menjawab, "Lima puluh ayat." Muttafaq Alaih. Juga
karena hal itu lebih baik bagi puasa, untuk menghindari kesalahan dan bebas
dari perbedaan pendapat. Lihat: Kasysyâfu a-Qina' (2/331).
No comments:
Post a Comment