Friday, July 20, 2012

Waktu Berbuka Puasa dan Makan Sahur

Image Berbuka Puasa
Sumber: flickr.com

Puasa adalah menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa, dari waktu fajar hingga matahari tenggelam (waktu maghrib). Semua orang mungkin sudah tahu akan hal ini. Namun, banyak orang yang bertanya-tanya, kapan sebenarnya waktu ajar itu? Apakah adzan subuh, atau sebelumnya? Demikian juga dengan waktu berbuka puasa. Apakah orang yang berpuasa hanya boleh berbuka puasa jika dia telah mendengar adzan? Atau apa patokan yang sebenarnya? Fatwa berikut ini akan menjawab pertanyaan: kapan sebenarnya waktu berbuka puasa dan makan sahur itu?
 Pertanyaan:
Kapan sebenarnya waktu berbuka puasa dan makan sahur?
Jawaban:
Waktu berbuka puasa dimulai sejak datangnya waktu malam. Allah Swt. berfirman, “Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam.” QS. Al-Baqarah: 187) Datangnya waktu malam ditandai dengan terbenamnya matahari. Diriwayatkan dari Abdullah bin Abi Aufa bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda,
“Jika kalian telah melihat malam datang dari arah  sana, maka orang yang berpuasa boleh berbuka.” Beliau mengatakan hal itu sambil menunjuk ke arah timur.[1]
Diriwayatkan dari Umar bin Khatab bahwa dia pernah bercerita: Rasulullah pernah bersabda,
“Jika malam telah datang dari arah sana, siang telah berlalu dari arah sana, dan matahari benar-benar telah tenggelam maka orang yang sedang berpuasa boleh berbuka.”[2]
Orang-orang biasanya menunggu sampai azan maghrib karena mereka tidak mengetahui waktu. Oleh karena itu, orang yang mengetahui waktu, jika dia yakin telah datang waktu malam, dia boleh berbuka puasa, meskipun dia belum mendengar azan. Orang yang sedang berpuasa juga boleh berbuka berdasarkan azan di radio, meskipun masjid di daerahnya belum mengumandangkan azan. Sementara orang-orang yang berada di suatu masjid juga boleh berbuka berdasarkan azan di radio atau azan di masjid lain.
Adapun waktu imsak, ia dimulai dari datangnya fajar shadiq. Allah Swt. berfirman,
“Makan dan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu waktu fajar.” (QS. Al-Baqarah: 187)
Diriwayatkan bahwa Abdullah bin Umar pernah bercerita: Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Bilal mengumandangkan azan di waktu malam.[3] Untuk itu, makan dan minumlah sampai waktu azan.” Atau beliau bersabda, “Sampai kalian mendengar azan Ibnu Umu Maktum.”
Ibnu Umu Maktum adalah seorang lelaki yang matanya buta. Dia tidak akan mengumandangkan azan sampai ada seseorang berkata kepadanya: Telah datang waktu pagi.[4]
Diriwayatkan dari Samurah bin Jundub bahwa dia pernah bercerita: Rasulullah Saw. pernah bersabda, “Kalian tak perlu menghentikan sahur hanya karena azan Bilal atau fajar mustathil (fajar kadzib). Akan tetapi, kalian harus menghentikan sahur jika telah datang fajar mustadir (fajar shadiq) di langit.”[5]
Jadi, seorang mukalaf boleh makan dan minum sampa azan shalat subuh. Akan tetapi dia disunahkan untuk menghentikan makan dan minum sebelumnya untuk berjaga-jaga dan terbebas dari perbedaan pendapat. Juga, karena hal itu lebih baik bagi puasa. Karena orang yang sedang sahur bisa makan dengan santai dan tidak khawatir akan melewati waktu fajar.
Oleh karena itu, seorang muslim hendaknya memahami kebiasaan temannya dan tidak mengundang fitnah bagi mereka. Dia hendaknya menghindarkan dirinya dari tuduhan buruk, serta menggunakan kebijaksanaan dalam mendidik orang lain.


[1] HR. al-Bukhari (1838), Muslim (1101).
[2] HR. al-Bukhari dari Umar bin Khatab, Kitab: ash-shaum, hadis no. (1818).
[3] Maksudnya, Bilal waktu itu selalu mengumandangkan azan sebelum datang waktu fajar shadiq.
[4] HR. al-Bukhari dari hadis Ibnu Umar, Kitab: al-Âzan, hadis no. (587).
[5] HR. Tirmidzi  (706). Dia mengatakan: Hadis ini adalah hadis hasan. Imam Bahuti berkata: Disunahkan mengakhirkan sahur jika seseorang tidak khawatir akan segera datang fajar shadiq. Hal itu sesuai dengan hadis-hadis nabi, diantaranya adalah: Hadis yang diriwayatkan oleh Zaid bin Tsabit bahwa dia pernah bercerita: Kami pernah makan sahur bersama Rasulullah, kemudian kami mengerjakan shalat. Aku kemudian bertanya, "Berapa lama selang waktu antara sahur dengan shalat?" Dia menjawab, "Lima puluh ayat." Muttafaq Alaih. Juga karena hal itu lebih baik bagi puasa, untuk menghindari kesalahan dan bebas dari perbedaan pendapat. Lihat: Kasysyâfu a-Qina' (2/331).

No comments:

Post a Comment