Saturday, July 21, 2012

Apakah Orang Yang Membatalkan Puasa Karena Uzur Harus Mengqadha (Mengganti) Puasanya?


Puasa Ramadhan termasuk rukun Islam. Untuk itu, mengerjakan puasa Ramadhan hukumnya wajib. Setiap muslim yang memenuhi syarat harus melaksanakan puasa Ramadhan. Jika tidak, maka dia berarti telah meninggalkan kewajiban agama. Seorang muslim yang berpuasa  harus meninggalkan hal-hal yang dapat membatalkan puasa mulai dari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari.  Nah, terkadang seseorang harus membatalkan puasa karena sebab-sebab tertentu. Bagaimana hukumnya orang yang membatalkan puasa karena udzur? Apakah dia harus mengganti (mengqadha) puasanya di hari yang lain? Fatwa berikut ini akan menjawab, apakah orang yang membatalkan puasa karena udzur harus mengganti puasanya?
Pertanyaan:
Apakah orang yang membatalkan puasa Ramadhan karena uzur (seperti sakit keras yang tidak bisa diharapkan kesembuhannya) harus mengqadha puasanya?
Jawaban:
Allah telah memberikan rukhshah (keringanan) kepada kelompok-kelompok tertentu untuk membatalkan puasa pada bulan Ramadhan. Allah Swt. berfirman,
“Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 185)
Dalam Sunah juga dijelaskan, perempuan yang sedang haid dilarang mengerjakan puasa. Diriwayatkan bahwa Abu Sa'id pernah bercerita: Rasulullah pernah bersabda,
“Bukankah jika seorang perempuan haid dia tidak mengerjakan shalat atau puasa? Itulah yang menyebabkan agama mereka tidak sempurna.”[1]
Diriwayatkan dari Mu'adzah bahwa dia pernah bercerita: Aku pernah bertanya kepada Aisyah, “Mengapa perempuan yang haid harus mengqadha puasanya, tapi dia tidak harus mengqadha shalatnya?” Sayidah Aisyah bertanya, “Apakah engkau pengikut mazhab Khawarij?” Aku menjawab, “Aku bukan pengikut mazhab Khawarij. Aku hanya ingin bertanya.” Sayidah Aisyah kemudian menjawab, “Kami pernah mengalami hal itu (haid) dan kami diperintahkan untuk mengqadha puasa, tapi tidak diperintahkan untuk mengqadha shalat.”[2] Orang yang sedang nifas, menurut kesepakatan para ulama, hukumnya seperti orang yang sedang haid.
Orang yang memiliki uzur diperintahkan untuk mengqadha puasa wajib jika sesuatu yang menghalanginya untuk berpuasa telah hilang. Jika seseorang meninggal dunia sebelum mengqadha puasanya, maka dia tidak berdosa dan tidak diwajibkan membayar fidyah (tebusan). Karena dia telah meninggal dunia pada bulan Ramadhan sehingga dia tidak diwajibkan untuk mengqadha puasanya atau membayar fidyah. Karena dia meninggal dunia dalam keadaan memiliki uzur. Bahkan, jika uzurnya telah hilang pada bulan Ramadhan, dia juga tidak wajib melakukan apa pun. Karena dia tidak memiliki kesempatan di lain hari untuk mengqadha puasanya, sedangkan dia juga tidak mungkin mengqadha puasanya pada bulan Ramadhan karena dia harus mengerjakan puasa Ramadhan. Sementara orang yang sedang melakukan suatu kewajiban tidak wajib melaksanakan kewajiban lain yang sejenis. Adapun jika bulan Ramadhan telah habis, dan seorang mukalaf masih memiliki uzur yang membuat dia boleh tidak berpuasa, dia juga tidak berkewajiban untuk mengqadha puasanya, meskipun hal itu terjadi sangat lama. Karena dia memiliki uzur yang tidak hilang hingga dia meninggal dunia. Sementara Allah Swt. telah berfirman,
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah: 286)
Imam Nawawi mengatakan: Jika seseorang memiliki tanggungan qadha puasa Ramadhan atau sebagian darinya, jika dia memiliki uzur yang membuatnya harus menunda qadha, seperti saat dia sakit, bepergian jauh, atau yang sejenisnya, dia boleh menunda qadha selagi dia masih memiliki uzur. Meskipun uzur tersebut berlangsung selama bertahun-tahun. Dengan penundaan tersebut dia tidak diwajibkan membayar fidyah, meskipun kewajiban qadhanya bertumpuk-tumpuk. Dia hanya wajib mengqadha puasanya; karena dia dibolehkan menunda puasa Ramadhan dengan adanya uzur tersebut. Untuk itu, menunda qadha tentu lebih boleh lagi.[3] Imam Nawawi juga berkata: Menurut pendapat kami, dia tidak wajib melakukan apa-apa. Tidak wajib mengqadha puasanya, juga tidak wajib membayar fidyah. Ini juga pendapat Abu Hanifah, Imam Malik, dan mayoritas ulama fikih.[4]

Itulah hukum orang yang membatalkan puasa karena udzur, serta pendapat para ulama, apakah dia wajib mengqadha puasanya atau tidak. Semoga bermanfaat. Wallahu a'lam.

[1] HR. Bukhari dalam Kitab: Ash-Shaum, Bab: Tarku al-hâidhu ash-shauma (1850) dari Abu Sa'id.
[2] HR. Muslim (335/69).
[3] Al-Majmu' (6/410).
[4] Al-Majmu' (6/421).

No comments:

Post a Comment