"You are crazy, Emely…tak akan ku izinkan kau
pergi ke tempat laknat itu!"
"Tapi
Dad, mereka membutuhkan Emely…”nada suaraku
mulai naik beberapa oktaf.
“Bukankah Dad yang menyuruh Emely untuk saling
menolong, bahkan Dad menyuruh Emely untuk masuk kedokteran agar bisa menolong
sesama."lanjutku tak peduli wajah Dad yang mulai memerah, marah.
"Bulsyit!"
Dad menggeprak meja. Cangkir kopi yang masih penuh bergeser beberapa mili dari
tempatnya. Isinya tumpah membasahi meja. Menyisakan warna hitam kental yang menodai
alas meja berwarna putih. Aku melirik noda hitam itu. Bila Mom tahu ia pasti
sangat marah. Taplak meja itu adalah taplak meja kesayangan Mom. Ia
mendapatkannya dari Prancis.
"Emely, lihat, Dad!" sentakan Dad membuatku
terperanjat. Ku angkat mataku lurus ke arah mata Dad. Sengaja ku tantang mata
itu. Tiga kali sudah ku ajukan permintaanku ini pada Dad, dan Dad selalu
menolaknya. Kali ini aku ingin benar-benar memperjuangkan keinginanku,
setidaknya naluriku mengatakan seperti itu.
Dad terlihat benar-benar marah. Raut mukanya yang
putih bijaksana berganti warna merah. Otot-otot lehernya tegang. Matanya
menyala garang. Berapi. Aku tak pernah melihat Dad seperti itu. Dad kali ini
bukan seperti Dad yang ku kenal, yang selalu memelukku dengan kasih sayang.
Kali ini Dad lebih persis seperti orang kerasukan setan.
"Mereka musuh kita Emely, seharusnya kau ikut
memerangi mereka, you know!" Dad mencondongkan tubuhnya, mendekatkan
mukanya ke mukaku. "Mereka telah merebut tanah Tuhan dari kita…." Sambungnya.
Suara Dad melemah penuh tekanan, seakan ingin mendiktekan kata-katanya ke
otakku. Menjejalkannya dengan paksa. Aku melengos mengingkari ucapan Dad.
Praaak. Dad kembali menggeprak meja.
"Kau harus tahu itu, Emely!"Suara Dad kembali
meninggi.
"Kita yang salah Dad, merebut hak mereka, melukai
mereka…"
Prak. Aku merasakan perih di pipi kananku.
"Masuk kamarmu dan jangan keluar sampai kau
menyadari kesalahanmu. Besok kita ke gereja membersihkan dosa-dosamu."
Mom menarikku dengan paksa.
“Dad kejam!” teriakku
"Masuk kamarmu Emely…sebelum Dad benar-benar
marah", lirih Mom penuh tekanan. Matanya membulat tegang, membujuk.
"Dad, yang seharusnya membersihkan dosa!"
lantangku tak menghiraukan bujukan Mom. Dad memburuku. Mengangkat tangannya,
"Stop hunny…"sergah Mom. Dad masih
garang, nafasnya ikut memburuku namun sesaat kemudian Dad menurunkan tangannya.
Menuruti perkataan Mom.
Mom kembali menarikku sambil menceramaiku panjang
lebar.
***
Aku masih tertegun. Diam. Aku bingung harus mulai dari
mana dan harus melakukan apa untuk bumi yang sudah terlanjur sangat porak
poranda ini. Luluh lantah mengenaskan. Dan aku meramalkan bahwa tak ada harapan
lagi bumi ini untuk bisa kembali seperti semula. Semuanya telah benar-benar
rata dengan tanah, hampir semuanya tak ada yang tersisa. Dan aku yakin sebagian
yang lainpun tinggal menunggu waktu. Ah, sebuah perjuangan. Mengapa mereka
harus berjuang sebegitu besar. Mengalirkan darah, membuang nyawa dengan
sia-sia. Meninggalkan berbagai kebahagian dunia dan lebih memilih berteman
dengan desau bising granat yang menjanjikan kematian, berteman dengan penderitaan
yang tak pernah ada yang tahu kapan semua ini akan berakhir.
"Mrs.Emely…." aku terperanjat. Panggilan
yang tiba-tiba itu membuyarkan lamunanku.
"Ternyata kau di sini…"lanjut Neck dengan
muka kelelahan. Nafasnya berhembus ramai di sertai dadanya yang naik turun.
Sama sepertiku ia juga seorang suka relawan, dia dari Kanada. Bedanya dia telah
beragama Islam. Dan Islamlah yang menjadikan dia berada di sini.
"Aku tak punya siapa-siapa di dunia ini.
Keluargaku telah mengusirku karena pilihanku. Dan mulai saat itu aku
benar-benar ingin menyerahkan segala yang ku miliki demi pilihanku,
Islam." Ujarnya suatu ketika. Dan sejak itu akupun tau bahwa Neck rela
melakukan apa saja untuk Islam. Termasuk memberikan nyawanya. Mengalirkan
darahnya.
"Aku mencarimu sejak tadi. Seorang gadis kecil
tertembak di kakinya. Pendarahannya luar biasa…."
Tanpa banyak bicara aku langsung beranjak sigap. Ku percepat
langkah kakiku. Neck tak menuruskan perkataannya. Dia hanya mengekor di
belakangku. Ku tambah kecepatan langkahku, memburu sebuah nyawa. Terlambat satu
langkah saja, nyawa taruhannya. Dan aku tak mau malaikat pencabut nyawa terlebih
dulu mendahuluiku tanpa aku dapat berbuat apapun, pikirku.
Dengan gesit ku bersihkan darah yang terus mengalir
dari kaki kecil gadis berjilbab. Ia terlihat begitu kesakitan. Ia terus
mengerang. Neck mengusap-usap kepalanya mencoba untuk menenangkan.
"Ambilkan suntik bius!"
Neck menyodorkan suntik bius.
Sebelum ku tusukan jarum suntik, gadis kecil itu
menatapku tajam. Tatapan penuh kebencian dan dendam. Ku lemparkan senyum
padanya. "I love Islam…"ujarku menyakinkan. Sesaat tatapannya ragu,
kemudian ia tersenyum.
Saat jarum suntik menusuk kulitnya yang masih lembut,
gadis kecil itu menggigit bibirnya menahan sakit. Ia terlihat begitu tegar. Beberapa
detik kemudian ia telah terlelap.
"Bantu aku mengambil pelurunya!". Neck
mengangguk.
Tak lebih dari empat puluh menit operasi telah
selesai.
"Alhamdulillah",ujar Neck. Aku mengerutkan
dahi, tak mengerti apa yang dia ucapkan. Neck hanya tersenyum menjawab kerutan
dahiku.
"Terima kasih Mrs.Emely…" aku mengangguk
membalasnya.
"Suara apa itu?", tanyaku. Neck terlihat
menajamkan pendengarannya. Ia kembali tersenyum,"Itu adzan, panggilan
sholat…"
Aku mencoba menyimak seruan itu. Ya, aku mengenalnya.
Aku sering mendengar seruan itu di tempat orang-orang Islam beribadah.
"Masjid dekat sini telah rata dengan tanah, tak
ada lagi pengeras suara…"aku mengangguk memahaminya.
"Aku sholat dulu…"aku mengangguk untuk yang
kedua kalinya.
Ku amati gadis kecil yang tergolek tak berdaya di
depanku. Kini pandanganku tertuju pada tangan mungil gadis kecil itu. Sebuah batu
tergenggam di tangannya. Karena rasa penasaran, Aku mencoba untuk mengambil
batu itu. Tapi cengkraman jari-jari kecilnya kuat mengunci batu itu. Ku renggangkan
jemari-jemari mungil itu. Kini batu hitam itu
telah beralih ke tanganku. Tak ada yang istimewa di batu itu. Hanya tulisan
arab yang di kerat dengan benda tajam. Neck pernah memberitahukanku, itu adalah
lambang kekuatan pejuang-pejuang Palestin. Mereka menyebutnya Allah. "Kau
tahu apa kekuatan orang Palestin?" Tanya Neck suatu ketika. Aku menggeleng
menjawabnya. "Hanya dengan batu ini." Aku menganga tak percaya. "Kita
akan terus berjuang, walau batu melawan peluru, walau syahadat melawan granat…."
Gila. Pikirku saat itu. Dan sekarangpun aku berpikir
sama, ini benar-benar gila. Peluru melawan batu, ucapan yang mereka sebut
syahadat melawan granat. Aku tak habis pikir mengapa Israel mampu melakukan itu semua. Mengibas
nyawa dalam hitungan detik tanpa perikemanusiaan. Setiap aku memasuki ruang
posko ini, melihat puluhan tubuh tergolek tak berdaya, entah mengapa nuraniku
begitu mengutuk kebiadapan mereka. Ingin rasanya ku kumpulkan segala kekuatan
yang ada di bumi ini untuk menghancurkan mereka. Membalas nyawa-nyawa yang
telah mereka ambil dengan semaunya. Membalas darah yang mereka alirkan tanpa
belas kasihan.
"Bulsyit…"
"Ada
masalah Mrs."
"Oh… No…no…" hampir saja aku melemparkan
batu yang ada di tanganku karena geram. Aku mencoba mengenali wajah di depanku.
Tapi nihil aku tak pernah melihatnya.
"Emely Meksico…"ku sodorkan tanganku. Pria
di depanku membalasnya dengan meletakan kedua tangannya di dada. Seperti apa
yang di lakukan Neck dan pria muslim Palestin lainnya.
"Im Fatih, from Indonesia"
"You Moslem"tanyaku.
"Yes. Im Moslem"
"Kenapa kau buang nyawamu kesini?",
berondongku tiba-tiba.
Fatih menyerngitkan dahinya. Sejenak ia diam. "Aku
tak merasa membuang nyawa. Justru aku mencari keabadian."
Sekarang ganti aku yang menyerngitkan dahi.
"Islam adalah keabadian" tambahnya. Kerutan di
dahiku semakin bertambah.
"Assalamualaikum…"
"Waalaikum salam…"jawab Farih
"Kau kembali Neck", balasku. "Kenalkan,
dia Fatih, from Indonesia".
Neck dan Fatih saling berpelukan. Neck menepuk
punggung Fatih berkali-kali, begitu juga dengan Fatih. Ku rasa mereka telah
saling mengenal.
"Bagaimana keadaan di luar?" Tanya Neck.
"Musuh terpukul mundur, sekitar sepuluh tentara israel
bersenjatakan lengkap. Tentara kecil yang melakukannya. Mereka menghujani musuh
dengan batu, mereka terus melempar dan melempar hingga musuh kewalahan. Dan memilih mundur…"
fatih menjawab pertanyaan Neck dengan terpotong-potong. Bahasa inggris Fatih
tak begitu bagus. Namun kami masih bisa memahaminya. Neck tersenyum penuh kemenangan.
"Kita pasti menang." Sambungnya kemudian. Aku ikut senang mendengar
kabar yang di bawa Fatih.
Bila satu jam yang lalu aku beranggapan bahwa tak ada
harapan lagi bumi ini untuk hidup kembali, ternyata aku salah. Dan aku semakin
yakin, selain semangat yang mereka miliki, ada kekuatan yang Maha besar di
balik pejuang-pejuang Palestin. Namun aku tak pernah tau apa itu.
"Aku
mengkhawatirkan kesehatanmu", muka Neck berubah sendu.
"Im fine. Insya Allah."
"He is sick?" tanyaku pada Neck.
Neck memandang Fatih. Sepertinya ada rahasia diantara
mereka berdua. Fatih tersenyum. Seperti memberi isyarat pada Neck untuk memberi
tahukannya padaku.
"AIDS."
Tenggorokanku tercekat, secara tak sadar mulutku
menganga mengeluarkan bunyi huruf 0. Berakhir dengan desahan huruf H yang
berat.
"Oh my god!"
Fatih mulai bercerita.
"Sunami Aceh membuatku kehilangan semuanya
termasuk keluargaku, semuanya tak ada yang tersisa…” AFtih memandang
langit-langit tenda. Matanya mencoba menyingkap masa lalu. “Seharusnya aku
bersyukur karena Allah menyelamatkan nyawaku. Tapi tidak. Saat itu aku
benar-benar marah kepadaNya. Bahkan aku
mengutukNya. Saat itu bagiku Dia terlalu kejam untuk dikatakan sebagai Penguasa….”
Fatih menarik nafas dalam. Ada
gurat penyesalan yang dalam di matanya. "Dan akupun benar-benar
meninggalkanNya. Saat itu aku benar-benar liar. Clup, minuman, narkoba, wanita
adalah pelarianku. Bentuk protesku akan kekejamanNya. Saat itu pula aku
benar-benar muak dengan Tuhan. Apabila semua orang bersyukur karena masih
diberi kehidupan, aku sebaliknya. Aku malah meminta kematian. Untuk apa aku
hidup bila semua orang yang kusayangi, semua orang yang ku cintai pergi
meninggalkanku. Dan Allah mengingatkanku dengan penyakit ini, Allah masih
menyayangiku…."
"Kau menamainya sebuah kasih sayang, bukankah
seharusnya kau lebih berhak untuk lebih membencinya…"
"Ya, mungkin jika Dia tak menyayangiku aku akan
berpikiran seperti itu. Namun setelah aku positif dinyatakan mengidap AIDS, aku
mulai mengenalNya. Bahwa Dia memang berhak melakukan apa-apa. Dia adalah Maha
segalanya. Dan sejak aku kembali kepadaNya. Aku menemukan kedamaian yang tak pernah ku rasakan…."*
"Dan kau membuang nyawamu di sini…?"
"Bukan membuang. Aku ingin menemukan keabadian….”
“Dengan kematian?” potongku. “Setidaknya aku tidak
mati sia-sia."mantap Farih.
Aku menarik nafas dalam. Orang-orang koyol. Pikirku.
Neck yang melarikan diri dari rumah demi Islam. Fatih yang menemukan ketenangan
setelah benar-benar dinyatakan positif dengan AIDS. Aku jadi teringat
teman-temanku. Blitzen, Raven, Kaitlin, Corleone, Carlo semuanya mengidap AIDS,
tapi mereka tak seperti Fatih yang menyadari kesalahannya. Tingkah laku
mereka semakin tak terkontrol setelah mereka tahu bahwa mereka mengidap AIDS. "Aku
akan mati setelah merasakan semua kesenangan dunia ini." Ujar mereka suatu
ketika. Dan lagi, gadis kecil berjilbab yang melawan granat dan peluru hanya
dengan batu. Dan…..
Dan aku yang melarikan diri dari rumah untuk menolong
orang-orang yang dianggap Dad sebagai musuh.
"Mereka datang…mereka datang….." laki-laki
kecil menghampiri kami. Mukanya penuh darah. Nafasnya putus-putus. Matanya
telah menyipit karena tertutup darah segar yang terus mengalir. Di tangannya
menggenggam beberapa batu hitam. Bahkan di lehernya juga terkalung plastik
hitam penuh batu.
"Mereka datang…..mereka datang….."Neck dan
Fatih beranjak dari tempat duduknya. Keduanya melangkah lebar-lebar seperti
siap perang. Meninggalkanku sendiri. Aku begitu ketakutan seakan kematian begitu
dekat denganku. Di luar begitu mencengkam. Bunyi granat berjatuhan. Suara
pistol berentetan tak berjeda. Suasana tegang. Bau darah menyesaki udara.
"Baba…baba…., ayo kita bunuh mereka…"gadis
berjilbab membuka matanya. Tanganya sibuk mencari sesuatu.
Aku mendekatinya dengan keringat bercucuran.
Ketakutan.
"Ajarkan aku agamamu….ajarkan aku agamamu…."
Gadis kecil berjilbab memandangku tak mengerti.
"Ajarkan aku agamamu…, ajarkan aku…"lirihku
mengiba. Gadis kecil itu masih kebingungan.
"Ajarkan aku agamamu."ulangku. Gadis kecil
itu tersenyum padaku. Senyum damai yang tak pernah ku temui sebelumnya.
"Ajarkan aku agamamu" ulangku lagi dengan
resah.
Gadis itu membuka mulutnya, aku siap-siap
mengikutinya.
"Asyhaduallaaillahaillah…."
"Asy….ha…du al….laa illa…haillah…."
Gadis kecil membuka kembali mulutnya yang mungil.
"Waasy……"
Daaar.
Sebuah peluru memecah kepala gadis kecilku.
Aku menjerit histeris. Namun tak ada suara. Aku
benar-benar ketakutan. Kucari benda apa saja untuk melawan tentara di depanku.
Gagal, tak ada satupun benda yang dapat ku gunakan untuk melawan. Batu ini,
pikirku. Ku ulang lagi apa yang diajarkan gadis kecil tadi.
"Asyhaduallaillahaillah…" ku lempar sekuat
tenaga batu hitam yang ku ambil dari genggaman gadis kecil tadi.
Daaar…
Aku merasakan darah segar mengucur dari kepalaku. Di
depanku tentara Israel
rubuh oleh batu itu. Keningnya mengucur darah segar.
"Asyhaduallaaillahaillah……"
Gelap.
*Dengn itu banyak orang yang di biarkanNya
tersesat, dan dengan itu (pula) banyak
orang yang diberinya petunjuk. (QS. Al Baqarah: 26)
Cairo,13 feb 09. 00.57 WK
By: DI
No comments:
Post a Comment