Monday, April 30, 2012

Hukum Operasi Selaput Dara


Pertanyaan:
Apakah seorang perempuan boleh melakukan operasi untuk mengembalikan selaput daranya agar bisa kembali seperti sedia kala?
Jawaban:
            Sebagaimana diketahui secara umum dalam syariah, bahwa Islam mengajak umatnya untuk menjaga kehormatan dan sangat membenci perbuatan zina serta menganggapnya sebagai salah satu perbuatan dosa besar. Islam juga memerintahkan umatnya untuk menutup semua jalan yang mengarah kepada maksiat tersebut, seperti memandang perempuan asing, berkhalwat dan lain sebagainya. Allah berfirman,
“Dan janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isrâ`: 32)
Islam juga menjadikan had sebagai hukuman pelaku zina jika perbuatan itu sampai kepada penguasa. Allah telah berfirman,
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera.” (QS. An-Nûr: 2)
Namun demikian, dalam Islam, jika seseorang terjerumus ke dalam maksiat maka secara hukum asal hendaknya dia menutupi maksiat itu. Hal ini sesuai dengan hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar r.a., bahwa Rasulullah Saw. bersabda,
الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لاَ يَظْلِمُهُ وَلاَ يُسْلِمُهُ وَمَنْ كَانَ فِي حَاجَةِ أَخِيهِ كَانَ اللَّهُ فِي حَاجَتِهِ وَمَنْ فَرَّجَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً فَرَّجَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرُبَاتِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain. Dia tidak boleh menzaliminya dan tidak boleh pula menjerumuskannya kepada kesulitan. Barang siapa yang membantu keperluan saudaranya, maka Allah akan membantu keperluannya. Barang siapa yang meringankan kesulitan seorang muslim, maka Allah akan meringankan salah satu kesulitannya pada hari kiamat. Dan barang siapa yang menutupi aib seorang muslim, maka Allah akan menutupi aibnya pada hari kiamat.”[1]
Kaum muslimin juga dilarang untuk menyebarkan dan membuka maksiat yang ditutupi oleh Allah.
Allah Swt. telah berfirman,
“Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah Maha Mengetahui, sedang, kamu tidak mengetahui.” (An-Nûr: 19).
Hal itu juga sesuai dengan hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a. dia  bahwa pernah bercerita, “Saya pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda,
كُلُّ أُمَّتِىْ مُعَافَاةٌ إِلاَّ الْمُجَاهِرِيْنَ، وَإِنَّ مِنَ الإِجْهَارِ أَنْ يَعْمَلَ الْعَبْدُ بِاللَّيْلِ عَمَلاً ثُمَّ يُصْبِحُ قَدْ سَتَرَهُ رَبُّهُ فَيَقُوْلُ: يَا فُلاَنُ، قَدْ عَمِلْتُ الْبَارِحَةَ كَذَا وَكَذَا، وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ فَيَبِيْتُ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ، وَيُصْبِحُ يَكْشِفُ سِتْرَ اللَّهِ عَنْهُ
“Setiap umatku dimaafkan perbuatan dosanya kecuali orang-orang yang membuka aibnya sendiri. Salah satu bentuk membuka aib itu adalah seorang hamba yang melakukan maksiat di malam hari, lalu hingga pagi Allah menutupi maksiatnya tersebut. Akan tetapi ketika pagi dia justru berkata kepada orang lain, “Wahai Fulan, saya tadi malam berbuat begini dan begitu.” Sungguh Allah menutupi perbuatan maksiatnya itu ketika malam, akan tetapi dia malah membuka tabir Allah itu dari dirinya ketika pagi.”[2]
Para ulama mazhab Hanafi menegaskan bahwa bila selaput dara seorang perempuan terkoyak karena perbuatan zina khafiy (perbuatan zina yang tidak sampai kepada penguasa sehingga pelakunya tidak dihukum had) atau perempuan itu tidak berprofesi sebagai penjaja seks sehingga dia telah terbiasa melakukannya, maka dia dihukumi sebagai perawan meskipun pada hakikatnya dia bukan perawan. Dia pun dapat menikah sebagaimana para perawan lainnya. Bahkan, dia tidak harus menyetujui secara terang-terangan untuk menikah, karena posisinya disamakan dengan para perawan. Sebagaimana diketahui bahwa Rasulullah Saw. memerintahkan para wali untuk meminta persetujuan seorang gadis perawan jika hendak menikahkannya. Beliau bersabda,

الْبِكْرُ تُسْتَأْذَنُ وَإِذْنُهَا صَمَاتُهَا
“Seorang perawan dimintai persetujuannya. Dan sikap diamnya merupakan izin darinya.”[3]
Para ulama Hanafiyah menjelaskan bahwa alasan mengenai hal itu adalah karena memintanya untuk berbicara dapat membuka aibnya, padahal syariat menganjurkan agar menutupi maksiat.[4]
Dalam kitab Nashbu ar-Râyah dikatakan, “Menurut Abu Hanifah, jika masyariatat mengetahuinya sebagai seorang perawan, maka mereka akan mencelanya jika dia mengakui perbuatan zinanya. Oleh karena itulah, dia tidak perlu untuk mengakuinya. Dengan demikian, cukuplah sikap diamnya (sebagai bentuk persetujuan nikahnya) agar maslahatnya tidak terabaikan.”
Dari penjelasan di atas, seorang perempuan dengan kondisi di atas boleh melakukan operasi untuk mengembalikan selaput daranya guna mencegah akibat buruk yang dapat terjadi jika dia tidak melakukan operasi itu, meskipun hal itu tidak akan terjadi kecuali di masa yang akan datang. Seorang dokter juga boleh melakukan operasi semacam itu, meskipun dengan menetapkan biaya tertentu.
Namun, jika perempuan itu telah diketahui secara umum sebagai pelaku zina –semoga Allah melindungi kita dari kemaksiatan itu — atau perempuan itu telah dihukum had atas perbuatan zinanya, maka dia tidak boleh melakukan operasi tersebut. Hal itu karena illat (sebab hukum) kebolehan operasi tersebut tidak ditemukan dalam masalah terakhir ini.


[1] HR. Bukhari di dalam Sahih Bukhari, Kitab: al-Mazhâlim wal ghadhab, Bab: Lâ yazhlimul muslimu al-muslima walâ yuslimuhu, (2/862), hadis no. 2262, dan Muslim di dalam Sahih Muslim, Kitab: al-Birri wal adab, Bab: Tahrîm azh-zhulm, (4/1996), hadis no. 4677.
[2] HR. Bukhari di dalam Sahih Bukhari, Kitab: Adab, Bab: Satrul mu`min 'ala nafsih, (5/2254), hadis no. 5608.
[3] HR. Bukhari dalam Sahih Bukhari, Kitab: al-Hiyal, Bab: Idzâ ghashaba jâriyah faza'ama annaha mâtat, faqadhâ biqîmatil jâriyah al-mayyitah tsumma wajadaha shâhibuha fahiya lahu, wayaruddul qîmah wala takûnul qîmah tsmanan, waqâla ba'dan nâss: al-jâriyah lil ghâshib li akhdzihil qîmah, wafi hâdza ihtiyâl limanisy taha jariyah rajulin lâ yabi'uha faghashabaha wa'talla biannaha mâtat hatta ya`khudzu rabuha qîmataha fatuthîbu lil ghâshibi jâriyata ghairih, qâlan Nabi Saw., “Amwâlukum 'alaikum harâm, walikulli ghâdirin liwâ`un yaumal qiyâmah, (6/2556), hadis no. 6456.
[4] Lihat: Majma' al-Anhur fî Syarh Multaqa al-Abhur, Kitab: Nikah, Bab: al-Auliyâ`, al-Akiffâ`.

No comments:

Post a Comment