Pertanyaan:
Apakah hukum menentukan jenis kelamin janin?
Jawaban:
Allah Swt. menciptakan
manusia dalam kondisi yang seimbang, yaitu
dengan menciptakan mereka secara berpasang-pasangan: laki-laki dan
perempuan. Allah juga memberikan keistimewaan bagi masing-masing dari kedua
jenis itu sesuai dengan tugas yang dibebankan kepadanya. Dan ditegaskan pula
bahwa keistimewaan ini merupakan tabiat alami setiap makhluk yang harus
dipertahankan dan diteruskan.
Allah berfirman:
“Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Rabb-mu
yang telah menciptakan kamu dari yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan
isterinya; dan daripada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan
perempuan yang banyak. Dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan)
nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan
silatur-rahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (QS. An-Nisâ`: 1)
Allah juga berfirman,
“Dan bahwasanya Dialah yang menciptakan
berpasang-pasangan laki-laki dan perempuan. dari air mani,
apabila dipancarkan.” (QS. An-Najm: 45-46)
Allah juga firman lagi,
“Dan segala sesuatu Kami ciptakan
berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah.” (QS.
Adz-Dzâriyât: 49)
Keragaman dan keistimewaan setiap makhluk inilah
yang sesuai dengan sunnatullah yang ditetapkan oleh Zat Yang Maha Mengetahui
atas segala sesuatu.
“Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, Dia menciptakan apa yang
Dia kehendaki, Dia memberikan anak-anak perempuan kepada siapa yang Dia
kehendaki dan memberikan anak-anak lelaki kepada siapa yang Dia kehendaki, atau Dia menganugerahkan kedua jenis laki-laki dan perempuan
(kepada siapa yang dikehendaki-Nya), dan Dia menjadikan mandul siapa yang Dia
dikehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.” (QS. Asy-Syûrâ: 49-50)
Dalam mengkaji permasalahan penentuan jenis kelamin
janin ini, kita harus melihatnya dari dua sudut:
Pertama, dilihat dalam tataran personal. Dalam tataran ini
terdapat kaidah umum yang menyatakan bahwa hukum dasar segala sesuatu adalah
boleh. Seseorang dapat memilih antara menikah atau tidak. Jika dia menikah,
maka dia boleh mempunyai anak atau tidak. Jika dia mempunyai anak, maka dia
boleh memilih untuk membatasi jumlahnya atau tidak. Semua itu disesuaikan pada
kondisi dan situasi yang menyertainya. Maka, sebagaimana seseorang boleh
melakukan usaha untuk memperbesar kemungkinan dalam memilih salah satu jenis
kelamin janin berdasarkan saran para dokter –seperti melalui pemilihan jenis
menu tertentu, pemilihan waktu bersenggama: sebelum atau sesudah pembuahan,
penyaringan sperma, dan cara-cara lainnya– maka boleh juga baginya untuk
mengambil metode mikroskopik dengan kromosom dan DNA. Karena, dalam tataran
personal tidak ada larangan untuk melakukan hal itu.
Kedua, dalam tataran umat secara keseluruhan.
Permasalahan ini hukumnya berbeda jika dilihat dalam tataran umat, karena hal
ini akan berkaitan langsung dengan rusaknya komposisi alami yang diciptakan
oleh Allah. Pemilihan jenis kelamin tertentu akan menyebabkan kacaunya
keseimbangan jumlah laki-laki dan perempuan yang menjadi unsur utama dalam
keberlangsungan proses reproduksi manusia. Kondisi ini dapat dikategorikan
sebagai tindakan menentang ciptaan Allah dengan cara merubah sistem alam,
merusak strukturnya dan menghilangkan sebab-sebab keberlangsungannya.
Oleh karena itu, terdapat perbedaan hukum mengenai
penentuan kelamin janin dalam tataran individu dan kolektif. Hal ini berpijak
pada kaidah syariah bahwa fatwa mengenai sesuatu dapat berbeda-beda sesuai
perbedaan keterkaitan antara sesuatu tersebut dengan sasarannya, apakah terkait
dengan individu atau umat menyeluruh. Perbedaan seperti ini sering dijumpai
dalam kitab-kitab fikih klasik, seperti kewajiban memerangi penduduk daerah
yang menolak melaksanakan shalat Sunah Shubuh atau menolak mengumandangkan
azan, tapi di sisi lain kebolehan membiarkan pelanggaran itu jika berada dalam
batas personal.
No comments:
Post a Comment