Monday, April 30, 2012

Hukum Mengkonsumsi Obat untuk Menghentikan Darah Haid


Pertanyaan:
Sebelum berangkat haji bersama saya, istri saya meminum obat atas saran dokter. Tujuannya adalah untuk menghentikan haidh sehingga tidak keluar dengan tiba-tiba saat melaksanakan manasik haji. Namun pada tanggal tujuh dan delapan Dzul Hijjah, dia menemukan sedikit darah. Dia kemudian mandi dan mengerjakan shalat. Dia tidak menemukan bekas darah lagi setelah itu. Dia benar-benar suci hingga dia selesai mengerjakan seluruh manasik haji, kecuali thawaf ifadhah.
Yang mana, dia mengerjakan thawaf ifadhah pada awal hari tasyriq. Pada saat dia mengerjakan thawaf itulah dia merasakan sakit. Setelah thawafnya selesai, dia menemukan ada sedikit darah yang keluar. Dia kemudian meninggalkan masjidil haram dan pergi ke dokter. Dokter itu memberinya suntikan dan pil yang mampu menghentikan darah. Dia kemudian mandi. Setelah dia yakin bahwa darah benar-benar berhenti, dia kembali ke masjidil haram, dan melakukan thawaf ifadhah lagi. Karena dia merasa ragu dengan thawafnya yang pertama. Sebelum thawaf, dia meletakkan sepotong kapas di tempat keluarnya darah agar dia tidak mengotori tempat jika darahnya keluar lagi. Setelah thawaf, dia mendapati bahwa kapas itu benar-benar bersih. Pada hari berikutnya, saat dia hendak ke bandara untuk pulang, dia menemukan bekas darah di dalam kapas.
Karena terbentur jadwal kepulangan dan pekerjaan, dia tidak bisa lebih lama lagi di Makah. Dalam pertanyaannya dia menyebutkan bahwa sampai surat ini dikirimkan, istrinya belum melakukan tahallul akbar. Dia tidak melakukan hubungan intim dengan istrinya sampai dia mengetahui hukum thawaf yang pertama. Apakah thawaf tersebut sah atau tidak? Jika memang thawaf tersebut tidak sah, apa yang harus dia lakukan? Apakah thawaf kedua sah atau tidak? Kemudian, jika thawaf kedua tersebut tidak sah, apakah dia harus pergi ke Makah untuk melakukan thawaf ifadhah lagi?
Jawaban:
Diantara syarat sahnya thawaf adalah suci dari hadas kecil dan hadas besar, serta tidak sedang haid atau nifas. Suci merupakan syarat sahnya thawaf menurut mayoritas ulama.[1] Untuk itu, jika seseorang tidak dalam keadaan suci maka thawafnya tidak sah. Dalil mereka adalah hadis Ibnu Umar bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda,
“Thawaf di Baitullah sama dengan shalat, maka jangan banyak berbicara saat kalian sedang thawaf.”[2]
Jika thawaf sama dengan shalat, sementara shalat harus dikerjakan dalam keadaan suci dari hadas dan najid, maka begitu juga dengan thawaf.
Para pengikut madzhab Hanafi berkata: Suci dalam thawaf hukumnya tidak wajib.[3] Untuk itu, orang yang tidak suci seperti orang yang sedang haid, nifas, dan junub, sah mengerjakan thawaf. Namun mereka wajib membayar dam. Dalil mereka adalah firman Allah,
“Dan hendaklah mereka melakukan Thawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah).” (QS. Al-Hajj: 29)
Yang mana, dalam ayat ini Allah memerintahkan untuk thawaf tanpa batasan apa pun, dan tanpa menyebutkan syarat suci. Ini adalah teks yang dogmatis. Adapun hadis yang dijadikan dalil oleh mayoritas ulama, adalah hadis ahad yang tidak bisa digunakan untuk membatasi teks Al-Qur`an. Menurut mereka, hadis tersebut maksudnya adalah menyerupakan. Dengan begitu makna hadis tersebut adalah: Thawaf itu seperti shalat. Sementara penyerupaan bisa dilakukan pada semua sisi yang memiliki kesamaan, seperti sisi pahala atau kewajiban. Dengan begitu, serupanya thawaf dengan shalat tidak berkonsekuensi pada kewajiban bersuci. Berdasakan hal itu, mereka mengatakan: Thawafnya orang yang berhadas tetap sah. Hanya saja dia wajib membayar dam.
Dalam kitab Fathu al-'Aziz karya Imam Rafi'i asy-Syafi'i, Bagian Kesembilan: Tentang Melempar Jumroh, Kitab: Haji, disebutkan bahwa orang yang tidak mampu melempar jumroh sendiri karena sakit atau dipenjara, bisa mewakilkannya kepada orang lain. Karena, jika mewakilkan seluruh ibadah haji saja boleh, maka mewakilkan salah satu manasiknya juga boleh. Selain itu, mewakilkan dalam ibadah haji dibolehkan jika ada alasan yang tidak akan berubah. Begitu juga dengan melempar jumroh. Namun dalam hal melempar jumroh, jika alasan tersebut tidak akan hilang hingga akhir waktu melempar. Selain itu, sebagaimana wakil dalam ibadah haji tidak boleh menghajikan orang yang diwakilinya kecuali jika dia sendiri telah haji, begitu juga wakil dalam melempar jumroh. Dia tidak boleh mewakili orang lain sebelum dia menyelesaikan melempar jumroh.
Berdasarkan hal itu, jika seorang wanita tiba-tiba haid sebelum mengerjakan thawaf, atau saat sedang mengerjakan thawaf, dan dia tidak mungkin tinggal di Makah lebih lama lagi sampai haidnya selesai, maka dia boleh mewakilkan kepada orang lain yang sudah mengerjakan thawaf untuk dirinya sendiri. Perlu dicatat, orang yang menjadi wakil harus berniat mengerjakan thawaf untuk wanita itu.
Seorang wanita juga boleh minum obat untuk menghentikan haidnya, kemudian mandi, dan mengerjakan thawaf. Atau, jika pada hari-hari haid darah haidnya tidak keluar terus-menerus, tapi kadang-kadang berhenti, maka dia boleh mengerjakan thawaf saat darahnya sedang berhenti. Hal itu sesuai dengan salah satu pendapat Imam Syafi'i: Hari-hari dimana darah haid tidak keluar adalah hari-hari suci.[4] Pendapat ini sesuai dengan pendapat Imam Malik dan Imam Ahmad. Bahkan sebagian ulama madzhab Hambali dan Syafi'i mengatakan bahwa wanita yang sedang haid boleh masuk masjid untuk mengerjakan thawaf setelah menutup tempat keluarnya darah dan memakai pembalut, kemudian mandi. Dalam kondisi seperti itu, dia tidak wajib membayar fidyah mengingat sempitnya waktu dan dia harus segera pulang karena udzur syar'i.
Imam Ibnu Taimiyah dan Imam Ibnu Qayyim memfatwakan sahnya thawaf ifadhah bagi perempuan yang sedang haid, jika dia harus segera pulang bersama suaminya. Dengan syarat dia menyumpal tempat keluarnya darah haid.
Dengan demikian, jelas bagi kita –sesuai dengan penjelasan penanya— bahwa thawaf pertama yang dilakukan oleh istri penanya, sah menurut sebagian ulama fikih. Adapun thawaf kedua yang dia kerjakan dengan meletakkan kapas di tempat keluarnya darah haid karena dia ragu dengan thawafnya yang pertama, hukumnya juga sah. Ia menjadi penguat sahnya thawafnya yang pertama karena jelas-jelas tidak ada darah yang keluar.


[1] I'lâmu al-Muwaqqi'in (3/21).
[2] HR. Ibnu Hibban dalam Sahih Ibnu Hibban (9/143) Bab: Dzikru al-Amru li al-mar`ah idza hâdhat an ta'mala 'amala al-hajj khalâ ath-thawaf bi al-baiti. Hadis tersebut disebutkan dengan redaksi, "Thawaf di Baitullah adalah shalat. Hanya saja Allah menghalalkan berbicara di dalamnya. Untuk itu, barang siapa berbicara saat thawaf maka dia hendaknya hanya mengucapkan kebaikan." HR. ad-Darami dalam Sunan-nya (2/66) Bab: al-Kalam fi ath-thawaf.
[3] Al-Majmu' karya Imam Nawawi (8/18).
[4] Al-Wasith fi al-Madzâhib, Imam Ghazali (1/472).

No comments:

Post a Comment