Pertanyaan:
Sebelum berangkat haji bersama saya, istri saya
meminum obat atas saran dokter. Tujuannya adalah untuk menghentikan haidh
sehingga tidak keluar dengan tiba-tiba saat melaksanakan manasik haji. Namun
pada tanggal tujuh dan delapan Dzul Hijjah, dia menemukan sedikit darah. Dia
kemudian mandi dan mengerjakan shalat. Dia tidak menemukan bekas darah lagi
setelah itu. Dia benar-benar suci hingga dia selesai mengerjakan seluruh
manasik haji, kecuali thawaf ifadhah.
Yang mana, dia mengerjakan thawaf ifadhah
pada awal hari tasyriq. Pada saat dia mengerjakan thawaf itulah dia merasakan
sakit. Setelah thawafnya selesai, dia menemukan ada sedikit darah yang keluar.
Dia kemudian meninggalkan masjidil haram dan pergi ke dokter. Dokter itu
memberinya suntikan dan pil yang mampu menghentikan darah. Dia kemudian mandi.
Setelah dia yakin bahwa darah benar-benar berhenti, dia kembali ke masjidil
haram, dan melakukan thawaf ifadhah lagi. Karena dia merasa ragu dengan
thawafnya yang pertama. Sebelum thawaf, dia meletakkan sepotong kapas di tempat
keluarnya darah agar dia tidak mengotori tempat jika darahnya keluar lagi.
Setelah thawaf, dia mendapati bahwa kapas itu benar-benar bersih. Pada hari
berikutnya, saat dia hendak ke bandara untuk pulang, dia menemukan bekas darah
di dalam kapas.
Karena terbentur jadwal kepulangan dan pekerjaan,
dia tidak bisa lebih lama lagi di Makah. Dalam pertanyaannya dia menyebutkan
bahwa sampai surat ini dikirimkan, istrinya belum melakukan tahallul akbar. Dia
tidak melakukan hubungan intim dengan istrinya sampai dia mengetahui hukum
thawaf yang pertama. Apakah thawaf tersebut sah atau tidak? Jika memang thawaf
tersebut tidak sah, apa yang harus dia lakukan? Apakah thawaf kedua sah atau
tidak? Kemudian, jika thawaf kedua tersebut tidak sah, apakah dia harus pergi
ke Makah untuk melakukan thawaf ifadhah lagi?
Jawaban:
Diantara syarat sahnya thawaf adalah suci dari
hadas kecil dan hadas besar, serta tidak sedang haid atau nifas. Suci merupakan
syarat sahnya thawaf menurut mayoritas ulama.[1]
Untuk itu, jika seseorang tidak dalam keadaan suci maka thawafnya tidak sah.
Dalil mereka adalah hadis Ibnu Umar bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda,
“Thawaf di Baitullah sama dengan shalat, maka
jangan banyak berbicara saat kalian sedang thawaf.”[2]
Jika thawaf sama dengan shalat, sementara shalat
harus dikerjakan dalam keadaan suci dari hadas dan najid, maka begitu juga
dengan thawaf.
Para pengikut madzhab Hanafi berkata: Suci dalam
thawaf hukumnya tidak wajib.[3]
Untuk itu, orang yang tidak suci seperti orang yang sedang haid, nifas, dan
junub, sah mengerjakan thawaf. Namun mereka wajib membayar dam. Dalil mereka
adalah firman Allah,
“Dan hendaklah mereka melakukan Thawaf sekeliling
rumah yang tua itu (Baitullah).” (QS. Al-Hajj: 29)
Yang mana, dalam ayat ini Allah memerintahkan untuk
thawaf tanpa batasan apa pun, dan tanpa menyebutkan syarat suci. Ini adalah
teks yang dogmatis. Adapun hadis yang dijadikan dalil oleh mayoritas ulama,
adalah hadis ahad yang tidak bisa digunakan untuk membatasi teks Al-Qur`an.
Menurut mereka, hadis tersebut maksudnya adalah menyerupakan. Dengan begitu
makna hadis tersebut adalah: Thawaf itu seperti shalat. Sementara penyerupaan
bisa dilakukan pada semua sisi yang memiliki kesamaan, seperti sisi pahala atau
kewajiban. Dengan begitu, serupanya thawaf dengan shalat tidak berkonsekuensi
pada kewajiban bersuci. Berdasakan hal itu, mereka mengatakan: Thawafnya orang
yang berhadas tetap sah. Hanya saja dia wajib membayar dam.
Dalam kitab Fathu al-'Aziz karya Imam Rafi'i
asy-Syafi'i, Bagian Kesembilan: Tentang Melempar Jumroh, Kitab: Haji,
disebutkan bahwa orang yang tidak mampu melempar jumroh sendiri karena sakit
atau dipenjara, bisa mewakilkannya kepada orang lain. Karena, jika mewakilkan
seluruh ibadah haji saja boleh, maka mewakilkan salah satu manasiknya juga
boleh. Selain itu, mewakilkan dalam ibadah haji dibolehkan jika ada alasan yang
tidak akan berubah. Begitu juga dengan melempar jumroh. Namun dalam hal
melempar jumroh, jika alasan tersebut tidak akan hilang hingga akhir waktu
melempar. Selain itu, sebagaimana wakil dalam ibadah haji tidak boleh
menghajikan orang yang diwakilinya kecuali jika dia sendiri telah haji, begitu
juga wakil dalam melempar jumroh. Dia tidak boleh mewakili orang lain sebelum
dia menyelesaikan melempar jumroh.
Berdasarkan hal itu, jika seorang wanita tiba-tiba
haid sebelum mengerjakan thawaf, atau saat sedang mengerjakan thawaf, dan dia
tidak mungkin tinggal di Makah lebih lama lagi sampai haidnya selesai, maka dia
boleh mewakilkan kepada orang lain yang sudah mengerjakan thawaf untuk dirinya
sendiri. Perlu dicatat, orang yang menjadi wakil harus berniat mengerjakan
thawaf untuk wanita itu.
Seorang wanita juga boleh minum obat untuk
menghentikan haidnya, kemudian mandi, dan mengerjakan thawaf. Atau, jika pada
hari-hari haid darah haidnya tidak keluar terus-menerus, tapi kadang-kadang
berhenti, maka dia boleh mengerjakan thawaf saat darahnya sedang berhenti. Hal
itu sesuai dengan salah satu pendapat Imam Syafi'i: Hari-hari dimana darah haid
tidak keluar adalah hari-hari suci.[4]
Pendapat ini sesuai dengan pendapat Imam Malik dan Imam Ahmad. Bahkan sebagian
ulama madzhab Hambali dan Syafi'i mengatakan bahwa wanita yang sedang haid
boleh masuk masjid untuk mengerjakan thawaf setelah menutup tempat keluarnya
darah dan memakai pembalut, kemudian mandi. Dalam kondisi seperti itu, dia
tidak wajib membayar fidyah mengingat sempitnya waktu dan dia harus segera
pulang karena udzur syar'i.
Imam Ibnu Taimiyah dan Imam Ibnu Qayyim memfatwakan
sahnya thawaf ifadhah bagi perempuan yang sedang haid, jika dia harus segera
pulang bersama suaminya. Dengan syarat dia menyumpal tempat keluarnya darah
haid.
Dengan demikian, jelas bagi kita –sesuai dengan
penjelasan penanya— bahwa thawaf pertama yang dilakukan oleh istri penanya, sah
menurut sebagian ulama fikih. Adapun thawaf kedua yang dia kerjakan dengan
meletakkan kapas di tempat keluarnya darah haid karena dia ragu dengan
thawafnya yang pertama, hukumnya juga sah. Ia menjadi penguat sahnya thawafnya
yang pertama karena jelas-jelas tidak ada darah yang keluar.
[1] I'lâmu
al-Muwaqqi'in (3/21).
[2] HR. Ibnu Hibban dalam
Sahih Ibnu Hibban (9/143) Bab: Dzikru al-Amru li al-mar`ah idza hâdhat an
ta'mala 'amala al-hajj khalâ ath-thawaf bi al-baiti. Hadis tersebut
disebutkan dengan redaksi, "Thawaf di Baitullah adalah shalat. Hanya
saja Allah menghalalkan berbicara di dalamnya. Untuk itu, barang siapa
berbicara saat thawaf maka dia hendaknya hanya mengucapkan kebaikan."
HR. ad-Darami dalam Sunan-nya (2/66) Bab: al-Kalam fi ath-thawaf.
[3] Al-Majmu'
karya Imam Nawawi (8/18).
[4] Al-Wasith fi
al-Madzâhib, Imam Ghazali (1/472).
No comments:
Post a Comment