Senja menggelantung sendu. Burung-burung beterbangan
membentuk titik-titik lukisan hitam di langit jingga. Benar-benar Maha karya terindah, tak seberapa dibanding goresan
Leonardo Davinci.
Tampah emas kemerahan menggelinding perlahan. Menyusup kesunyian.
Sedikit demi sedikit menghilang di kaki cakrawala.
"Bi,
ini hari apa ?" tanya Laksmi pada pembantunya.
Sejenak pembantu berpikir, "Ahad, Bu…,"
balasnya sembari menaruh secangkir kopi yang masih mengepul panas.
"Bapak kok belum pulang-pulang ya, Bi ? Seharusnya
kemarin kan sudah pulang…?"
Pembantu yang bernama Minten itu hanya diam. Matanya yang
tua memandang nanar ke Sang Majikan. "Yang sabar ya, Bu…," batinnya.
Sayangnya kata-kata sugesti itu hanya tercekat di
tenggorokan tak terlontarkan. Tak ada keberanian seorang pembantu untuk ikut
campur dalam urusan majikan.
"Ya sudah Bi, kamu lanjutkan saja pekerjaan di
dalam. Masak opor ayam sama dendeng kesukaan bapak ya, Bi… Siapa tahu malam ini
bapak pulang. Porsi dobel Bi... Siapa tahu Neng Sari juga ikut kesini…"
" Nggih, Bu…"
Minten membungkukkan sedikit badannya, mengangguk sendiko
dawuh, lalu berlalu.
###
"Bu, mau dihidangkan kapan ?" Laksmi melirik jam
dinding persegi yang menggelantung di sudut ruang makan. Jarum panjang menunjuk
angka sebelas sementara jarum pendek menunjuk angka tujuh.
Laksmi menarik nafas berat.
"Mungkin sekarang aja,
Bi !"
Dengan gesit Minten
menyiapkan hidangan makan malam. Menata piring, menata aneka hidangan dan yang
terakhir menyalakan tiga lilin yang berdiri anggun di tengah meja.
"Bu, semuanya sudah
siap…"
"Ya udah, Bi, Bibi
boleh istirahat. Biar saya yang menunggu bapak," ucap Laksmi mengakhiri
kata-katanya dengan senyuman. Bentuk apresiasinya pada sang pembantu yang sudah
lima belas tahun setia menemaninya.
Minten tak langsung
beranjak. Sebentar ia mematung, menimbang-nimbang hatinya. Tak tega rasanya
meninggalkan majikannya sendiri. Menunggu sesuatu yang tak pasti. Mendekap
kesepiannya seorang diri.
Menyadari pembantu setianya
masih mematung, Laksmi mengangguk. Tatapan matanya berkata, "Tak apa aku
sendiri."
Dengan berat hati akhirnya
Minten beranjak meninggalkan majikannya sendiri.
Dalam langkahnya Minten
mencuri pandang ke arah sang majikan.
Sungguh pemandangan yang menyesakan
dada. Di depan aneka hidangan makanan lezat seorang putri duduk sendiri di
salah satu kursi megah yang mengitari meja makan itu. Kedua tangannya menopang
dagu. Tatapan matanya sendu. Tak ada gurat kebahagiaan sama sekali. Aneka
makanan lezat itu tak mampu menarik senyumnya, barang secuilpun.
Sangat beda jauh dengan
keadaan di rumah Minten. Setiap ada acara makan semua anaknya yang berjumlah
sepuluh akan saling berebut makanan. Ada kebahagiaan, di depan nasi sebakul
yang tak cukup membuat kenyang kesepuluh anaknya. Ada kebahagian di depan
secuil tempe gembos yang hanya berteman secobek sambel trasi.
Mungkin apabila semeja
makanan lezat itu terbang ke bilik bambu Minten suasananya akan berbeda. Bilik
bambu itu akan berubah seperti istana dengan gemuruh tawa kebahagiaan dan nyanyian-nyanyian
surga.
Batang lilin telah meluber
separuh lebih. Sementara asap-asap yang mengepul dari makanan yang terhidang
panas telah lenyap. Tak berbekas. Semuanya membeku. Seperti kebekuan hati Laksmi.
Entah berapa kali Laksmi
melirik gelisah ke arah jarum jam.
Jarum jam terus berputar.
Mengantarkan malam semakin pekat. Alunan detak jarum jam semakin keras membelah
kesunyian malam. Mendendangkan nada-nada yang semakin lekat menyayat.
Laksmi beranjak. Berjalan
resah mengitari meja makan. Kali ini adalah thawaf-nya yang ketujuh kali
atau bahkan mungkin lebih.
Lilin di meja kini telah meleleh
habis, tak lagi seanggun empat jam yang lalu. Api kecil yang menyala dari sisa
lelehan lilin itu terlihat hampir putus asa dalam menemani kesendirian Laksmi. Begitu
juga dengan malam. Malampun terlihat lelah menemani. Dan Akhirnya secara
perlahan-lahan ia terus beranjak menyongsong pagi. Meninggalkan Laksmi sendiri yang
tetap setia menunggu malam, walaupun ia sendiri sadar bahwa malam telah
meninggalkannya jauh. Itulah kesetiaan seorang wanita. Demi surga.
Jarum jam telah berputar penuh,
melewati angka-angka yang berderet melingkar. Berdentang dua belas kali. Tepat tengah malam.
Laksmi semakin gelisah. Ia
mulai putus asa untuk menunggu suaminya yang tugas di luar kota empat hari yang
lalu.
Dengan mata berat Laksmi
kembali melirik ke arah jam. Pukul dua belas lebih seperempat. Di lihatnya
pintu depan, pintu itu masih tertutup rapat. Tak terdengar bunyi ketukan yang
menjadi pertanda datangnya tambatan hati yang dinantinya. Setahun yang lalu,
malam-malam penantian seperti ini tak pernah terjadi. Bahkan setiap pulang sang
suami akan membawakan oleh-oleh untuknya walaupun hanya secuil kue coklat atau
setangkai mawar putih. Dan suaminya akan memberikannya seraya berbisik, "Maafkan
Papa, meninggalkan Mama sendiri", disertai ciuman mesra di keningnya.
Saat ini Laksmi benar-benar
merindukan saat-saat itu.
Setetes embun bening jatuh
luruh, membelah pipi Laksmi. Laksmi segera menyeka air matanya, ia tak ingin
malam menertawakannya.
Penat mulai menggelanyuti
kepalanya. Laksmi menyandarkan tubuhnya. Matanya mulai terpejam, lelah.
"Bu,ibu..."
Laksmi membuka matanya
dengan sedikit terguncang karena kaget. Minten menarik langkahnya, sedikit
beringsut ke belakang. Ia merasa bersalah karena telah mengganggu tidur nyenyak
majikannya.
"Sudah malam bu, ibu
ketiduran...."
Laksmi mengucek-ucek
matanya. Menggeleng-geleng kepalanya yang pening. Sejenak ia memejamkan mata,
mencari kekuatan untuk mengembalikan kesadarannya penuh.
"Jam berapa bi...?"ucapannya
kemudian.
"Jam satu bu...",jawab
Minten. Pembantu setianya itu tak berani memandang Laksmi. Ia sungguh tak tega
melihat raut muka majikannya yang begitu lelah.
"Makasih bi..."
Minten beranjak dengan sedikit membungkukkan tubuhnya.
Laksmi menghirup nafas
berat. Hembusan nafas panjangnya berakhir dengan padamnya nyala lilin di tengah
meja makan. Bersama pula padamnya harapan besar di hatinya.
"Selamat malam, Pa…"
bisiknya sendu pada sang angin. Mengabarkan rindunya.
Di kamar megah Laksmi belum
juga terpejam padahal malam sudah sangat larut. Matanya yang menyirat sebuah
kerinduan menyapu kamar tidur yang cukup luas itu. Semuanya lengkap dan
semuanya megah, indah. Tak ada yang kurang sedikitpun. Ranjang megah dengan
ukiran mewah, tirai kamar warna emas yang menjuntai seperti jubah permaisuri,
meja rias yang juga tak kalah mewah.
Tapi hatinya hampa tak
mampu merasakan semua keindahan dan kemegahan itu.
Laksmi mengelus bantal di
sampingnya. Membayangkan seakan bantal itu menopang kepala penat sang suami.
Lalu ia akan memijitnya. Dan ritual cinta akan dimulai dengan indahnya.
Mengetuk pintu surga. Dan kesendiriannyapun bergumam,
Andai cinta kali ini
bernyanyi
Menyusul malam yang indah
Sunyi malam akan menjelma,
Menjadi pesta terindah
untuk para pecinta...
Malam adalah waktu yang
paling tepat untuk mengumpulkan mozaik-mozaik masa lalu, setidaknya begitu
untuk Laksmi. Kenangan-kenangan masa silam itu kembali berputar.
Lima belas tahun yang lalu
adalah hari yang paling membahagiakan baginya.
Hari di mana ia dipinang
oleh Drs. Mohammad Saiful, MA. Dosen salah satu universitas negeri di Jakarta.
Bukan hanya itu Drs. Mohammad Saiful, MA juga terkenal kaya, pandai dan ulet.
Semakin lengkap dengan ketampanan yang dikaruniakan Allah padanya.
Hingga saat pernikahan itu
tiba Laksmi menjadi buah bibir di desanya. Semua orang mengirikan kebahagiaanya.
Mengelu-ngelukan keberuntungannya.
Dimana Laksmi yang hanya
seorang gadis desa yang hanya tamatan SMP di persunting oleh orang gedhe.
Itulah keberuntungan, tak pernah memihak kepada siapapun.
Pernikahan yang tak se-kufu
itu membuat banyak orang kagum. Sayangnya itu tak berjalan lama. Hingga
puncaknya pada suatu ketika.
"Bu, long dres
saya bagus nggak ?" tanya teman kantor suaminya. Pada acara seminar sang
suami.
Laksmi berkerut tak paham. "Long
dres?"
Sementara temen suaminya
yang genit berputar sambil menaik turunkan baju bawahnya. Tersenyum sombong.
Melihat tingkah teman
kantor suaminya Laksmi semakin tak faham. Kerutan di keningnya semakin
bertambah.
Dengan lugu ia berkata
"Long dres apa ya, Bu?" Serta merta gerombolan ibu-ibu cantik bermake
up menor yang secara tak sengaja menyimak pembicaraan mereka berdua berbisik-bisik
kasak-kusuk. Saat itu juga Pak Saiful mendekati istrinya.
"Pak Saiful, pinter
jangan dipake sendiri. Istrinya diajarin…" Deg!!! Ada yang menyayat di
hati Laksmi.
Dan kejadian sepele yang menyedihkan
itu terus berlanjut. Hingga Laksmi memutuskan untuk tak pernah ikut dalam acara
seminar-seminar suaminya.
"Ma, ayo ikut! Kali
ini undangannya wajib berdua lho.. kalo temen-temen Papa nanya Mama gimana?"
paksa suaminya suatu ketika.
"Pokoknya nggak
mau, Pa! Dari pada ntar malu-maluin. Mama merasa nggak pantas berada pada kelompok
temen-temen Papa yang genit itu." Sang suami diam menerima alasan
istrinya.
"Kali ini aja Ma...masak
Mama tega Papa pergi sendiri. Inikan acara launching buku Papa, Papa janji akan
nemenin Mama terus."
"Pa...."
Suaminya diam. Sekarang
mata keduanya yang berbicara. Dengan penuh kasih dan cinta.
Sang suami tersenyum
mengerti. Laksmi membalas senyuman itu mesra. Dan akhirnya Pak Saiful pergi
sendirian dalam acara launching bukunya.
Suatu malam di bawah sinar
rembulan.
Laksmi bersandar mesra pada
pundak suaminya menikmati malam bulan purnama. Di atas purnama bersinar dengan
indah. Sinarnya semakin benderang ditemani ribuan bintang.
Lima belas tahun sudah pernikahan sepasang
dara surga itu, tapi keduanya belum juga dikaruniai seorang anak.
"Pa, Papa boleh kok
menikah lagi…" seketika raut muka suaminya berubah.
"Mama
ngelindur…?" Laksmi menggeleng mantap.
"Mama tahu Papa butuh
orang untuk menemani Papa …dan….Mama juga tahu Papa sudah capek memberi alasan
pada temen-temen Papa tentang ketidakhadiran Mama pada acara-acara Papa…Mama nggak
apa-apa, Mama ikhlas…dan Mama juga ingin kita punya pahlawan kecil untuk
meneruskan perjuangan Papa. Walaupun tidak dari rahim Mama.." sang suami
mengelus kepala Laksmi penuh kasih.
"Papa cukup bahagia
dengan Mama."
Setelah dibujuk akhirnya
pernikahan itu tiba. Pernikaan kedua bagi Drs. Muhammad Saiful, MA. Sekaligus
bergantinya status sebagai istri tua bagi Laksmi.
Semenjak itu apabila ada
acara-acara seminar atau lainnya, Sari istri muda, seorang dokter spesialis
kandungan selalu menemani suaminya. Dan tentunya itu tak akan membuat malu
suaminya. Pasangan yang sangat ideal.
Tak terasa air mata kembali
mengalir membelah pipi Laksmi.
"Berikan keikhlasan
padaku ya Allah…," desahnya. Disusul rapat kedua matanya yang berbalut
ngantuk.
Laksmi dan suaminya
berjalan bergandengan tangan mesra. Menembus cahaya yang bersinar terang benderang.
Di depan mereka berdiri sebuah istana megah yang berkilauan cahaya indah.
"Siapa laki-laki ini
?" tanya penjaga istana itu.
"Dia suamiku…." jawab
Laksmi.
"Kau ingin dia
masuk…..?" tawar penjaga itu ragu.
"Tentu saja, dia suamiku
dan aku ingin selalu bersamanya…." Penjaga istana itu memandang tajam
laksmi, penuh selidik.
"Kau yakin kau mau
masuk bersamanya?"
Laksmi mengangguk mantap.
"Masuklah kalian
berdua…." ujar sang penjaga kemudian dengan ramah.
Gema adzan subuh menyeruak.
Menarik Laksmi dari alam mimpinya.
"Bi, ntar masak opor
ayam sama dendeng kesukaan bapak ya … porsi dobel. Siapa tahu bapak pagi ini
pulang, dan Neng Sari juga ikut…" ujar Laksmi penuh semangat.
"Tapi bu, makanan tadi
malam belum kemakan…"
"Iya, bibi masak yang
baru. Makanan tadi malam bibi kasih ketetangga, masih enak kan, Bi ?"
Pembantunya mengangguk.
"Ya udah, bibi cepetan
masak ! Saya yang beres-beres."
Sang pembantu semakin
bingung dengan pikiran majikannya.
Jangan-jangan majikannya sudah
gila, batinnya. Minten bergidik ngeri menepis pikirannya yang nggak-nggak.
"Karena aku melihat
surga, Bi..," bisik Laksmi membalas kebingungan pembantunya.
Al-Azhar
Park,
Cairo, 27 Juli '08
Cairo, 27 Juli '08
DIِِ
No comments:
Post a Comment